Tantangannya Bukan Menaklukkan Gunung, Tapi Diri Sendiri

0

Dengan segala keindahannya, Gunung Rinjani menjadi magnet luar biasa bagi para pendaki lokal dan mancanegara. Menjajal Rinjani bukan perkara mudah untuk mencapai puncak 3.726 meter diatas permukaan laut (mdpl).  Tapi ada bagian lain yang harus disadari. ‘Bahwa sesungguhnya ketika mendaki bukan soal menaklukkan gunung, tapi kemampuan menaklukkan diri sendiri’ (Norman Edwin 1955 – 1992).

NORMAN Edwin adalah pendaki hebat yang pernah dimiliki Indonesia. Aksi heroiknya menaklukkan lima dari tujuh gunung di dunia dengan ketinggian 4000 – 6000 mdpl, sehingga Norman dijuluki Beruang Gunung. Tapi petulangan Mapala Universitas Indonesia (UI) ini berakhir beberapa ratus meter sebelum mencapai puncak Ancocagua Argentina dengan ketinggian 6.959 meter. Meski sudah meninggal, kehebatan Norman Edwin menjadi inspirasi para pendaki NTB. Mereka yang tergabung dalam Wahana Pecinta Alam (Wanapala) NTB merasakan jiwa spartan Norman ketika menaklukkan gunung di Benua Amerika, Eropa, Australia, Afrika hingga Alaska.

Rinjani Mountain

‘’Sebenarnya bukan gunung yang kamu taklukkan, tapi diri sendiri”. Kira-kira itu kalimat Norman yang masih saya ingat dan jadi insiprasi sampai saat ini,” kata Hillyadi, pendaki senior saat berbincang dengan Suara NTB di Danau Segara Anak, Senin (11/7/2016) lalu. Hampir semua pendaki saat menapaki setiap medan terjal lereng Rinjani hingga puncak, menurut dia akan merasakan itu. Pendaki yang sudah berusia 42 tahun ini mengingatkan bagaimana perjuangan terberat adalah melawan ego. “Anda pun pasti merasakan sendiri meski baru pertama kali mendaki,” katanya kepada Suara NTB.

Rasa itu memang ada dalam sebuah misi kecil membawa Harian Suara NTB ke puncak Rinjani. Diawali dari perjalanan dari Kantor Rinjani Trekking Center  (RTC) Sembalun menuju pos satu berjarak 3,5 kilometer, rasa lelah sudah menyergap. Ujian paling berat ketika dihadapkan dengan pilihan untuk melewati pos III ekstra menuju Pelawangan, melalui Cemare Siu. Bukit terakhir dengan medan paling terjal. Jika harus menuruti ego, ditambah lelah paling hebat, rasanya ingin berhenti dan kembali ke rumah.

Begitu sampai ke area camp penginapan Pelawangan, ada kelegaan luar biasa meski sekujur tubuh terasa ‘remuk’. Sekaligus suasana kebatinan yang menggambarkan betapa kerdilnya manusia ketika ‘menaklukkan’ sebagian kecil dari wujud kekuasanNya.

Di Pelawangan, pendaki menginap di tenda-tenda yang berjejal di punggung bukit Pelawangan, di tengah hembusan angin yang membawa kabut tebal, dingin menembus hingga menusuk kulit. Pukul 02.00 Wita, Suara NTB  bersama tim memulai etape paling sulit ; top summit. Melalui perjalanan satu sampai dua jam melalui bukit berpasir dan berkerikil. Langkah semakin berat dengan lapis kaki sepatu dan sandal outdoor karena tertanam jalan berpasir dan kerikil.

Sampai di ujung bukit, dari bibir kawah, terhampar  kaldera Rinjani,  Danau Segara Anak dan semburan asap tipis dari Gunung Baru Jari. Tapi bagi pendaki itu tidak cukup. Ekspektasinya adalah mencapai puncak. ‘’Masih ada dua jam perjalanan lagi,’’ kata seorang porter mengingatkan.

Berjalan di bibir kawah Rinjani yang merupakan etape terakhir menuju puncak, rasa lelah yang belum juga lepas, bercampur dengan dinginnya suhu serta terjangan angin bercampur kabut. Butuh jaket tebal, sarung tangan, tutup kepala yang memadai. Langkah semakin terseok seok. Beruntung ada energi lain yang menjadi penyemangat, datangnya dari para pendaki yang baru saja turun dari puncak. “Ayo semangat, puncak sudah menunggu.” Tak sedikit juga yang berbagi makanan dan minuman.

Ada juga pendaki yang merasa ‘terlambat’, karena itu sudah dilakukan pendaki lainnya bertahun tahun lalu, bahkan sudah berkali kali.

Masih di sepanjang perjalanan, ada ungkapan dari para pendaki lainnya, bahwa dalam kondisi lelah, tantangannya ketika sifat asli seperti ego, kesombongan, mau menang sendiri disadari atau tidak, akan muncul. Kelelahan, oksigen yang menipis dan hawa yang dingin adalah alasan yang cukup untuk menyerah.

“Kemudian disinilah kesadaran muncul, bahwa mendaki bukan tentang menaklukan alam, tapi menaklukan diri sendiri,” lanjut Yadin Black, pemandu proses pendakian Suara NTB, mengutip pesan pendaki idolanya Norman Edwin. Labih mendalam ungkapan disampaikan Ustadz Zainal Fahmi yang ditemui Suara NTB di pemandian air panas “Aik Kalak”. Bahwa mendaki itu cara kita melatih menundukkan pandangan dari godaan duniawi dan merendahkan diri di hadapan sang Khalik.

Jika tidak bijak, kelompok pendaki yang melihat rekannya kelelahan akan membiarkannya istirahat sendirian, anggota tim lain melanjutkan ke puncak. Ego seperti ini justru mengkhawatirkan bagi Search And Rescue (SAR). Tidak heran ada saja kasus pendaki pingsan, bahkan meregang nyawa karena tidak ada saling pengertian dalam anggota tim pendaki.

‘’Hilangkan ego masing masing, karena itu memengaruhi keselamatan,” kata Humas SAR Mataram, Putu Cakra. Jika mendaki berkelompok, pesannya harus solid. Ketika ada yang lelah, maka yang lain harus ikut istirahat, karena masing-masing pendaki punya kondisi fisik berbeda.

 

Top Rinjani

Jalur letter E, atau beberapa meter sebelum sampai ke puncak, ungkapan penyemangat itu tak henti hentinya datang dari para pendaki yang berduyun duyun turun. Melewati kelokan letter E di bibir kawah, pada akhirnya dipertemukan dengan area sedikit datar seluas hanya sekitar 10 meter. Itulah top Rinjani 3.726 mdpl. Ucapan paling ringan adalah ‘’Alhamdulillah’’. Ada yang langsung sujud syukur, memuji mahakarya Tuhan yang tak terbantahkan terhampar dengan pandangan tanpa sekat. Selebihnya melakukan “ritual wajib”, foto – foto di puncak dengan berbagai ekspresi. Plat tertulis “Top Rinjani 3.726 mdpl” pelengkap keterangan dalam foto.

Suara NTB ambil bagian, foto dengan salah satu edisi koran dan di bagian berbeda foto dengan cover depan “Portal Baru suarantb.com”. Dua seremoni kecil yang menjadi penanda keinginan besar untuk membawa Suara NTB ke puncak tertinggi. Dedikasi pengabdian kepada publik melalui media yang diterbitkan perdana  1 Maret 2004 ini.

Ada filosofi lain yang bisa dipetik bahwa kelelahan adalah keniscayaan. Tapi dengan kesungguhan, tekad kuat, menikmati setiap proses itu sebagai kecintaan atas profesi, maka di setiap hasil yang diraih adalah kepuasan batin tak terdefinisikan karena bisa bermanfaat bagi banyak orang. (ars)