Jalur Tikus dan Potensi Retribusi Wisata yang Hilang

0

Tercatat ada empat pintu masuk dan keluar Taman Nasional Gunung Rinjani. Satu diantaranya masih ilegal, tapi jadi primadona karena melalui jalur ini relatif cepat ditambah di lintasan ini, ditemukan sejumlah spot wisata kelas dunia.

TUAQ Nas (35) berjalan tertatih dengan sisa tenaganya. Kaki kanannya sudah pincang akibat keram otot dan terpaksa memulai perjalanan melelahkan dengan alat bantu tongkat. Amaq Selim (40) siaga di belakangnya untuk jadi tukang urut. Di ujung paling belakang, ada Amaq Derman (55), pawang yang sudah “menyisir” jalan ketika ada gangguan dari mahluk halus. Sementara ketua rombongan di posisi paling depan.

Rombongan yang ‘mengular’ itu berjumlah 43 orang, berasal dari Praya, Lombok Tengah. Mereka adalah pemancing yang terkoordinir, lengkap dengan tenaga “medis” tradisional, pawang, tukang masak, hingga porter,  baru saja bertolak dari Danau Segara Anak. Ada sekarung ikan mujair dan gurami dibawa, hasil memancing Minggu (10/7) sebelumnya. Mereka pulang melalui jalur tikus Sambi Elen. Jalur kedatangan sebelumnya. Katanya agar lebih cepat sampai.

‘’Kalau berangkat jam 6 pagi dari Segara Anak, sampai di ujung hutan paling cepat jam 12,’’ kata Zainul Fahmi, ketua rombongan pemancing. Setiap tahun menjadi agenda mereka ke danau untuk menyaurkan hobi dan jalur itu jadi langgananan dilalui. Tentu saja dengan gratis. Jalur itu terletak di belahan Utara Rinjani. Melaluinya, satu jalur dengan menyusuri aliran sungai Kokok Puteq atau Sungai Putih yang sumbernya dari Danau  Segara Anak.

Sedangkan di belahan Utara, Timur dan Tengah, sebenarnya ada pilihan paling aman, jalur Senaru Lombok Utara dan Sembalun Lombok Timur. Dua jalur ini jadi pilihan utama pendaki lokal dan mancanegara. Karena resmi, tentu bertarif. Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) menarik retribusi sebesar Rp 5000 per hari per pendaki wisatawan nusantara, sedangkan pendaki mancanegara Rp 150.000 per hari.  Ada lagi jalur Aik Berik di Kecamatan Batu Kliang Utara Lombok Tengah yang baru dibuka. Dari satu pintu masuk saja, negara sudah dapat pemasukan lumayan banyak jika dikalkulasi. Per akhir pekan kemarin, ada 854 pendaki lokal. Jika disesuaikan dengan tarif, dengan rata-rata durasi pendakian dan kepulangan empat hari, maka pemasukan ke negara mencapai  Rp 17.080.000. Selebihnya total 950 pendaki, sisanya 96 orang pendaki mancanegara dengan tarif Rp 150.000. Maka kantong kas TNGR bertambah Rp 14.400.000. Jika dirata ratakan waktu empat hari wisatawan di dalam kawasan konservasi itu, maka pundinya menjadi Rp 57.600.000. Kalkulasi sederhana ini bisa dijadikan gambaran saat puncak arus pendakian. Bahkan disebut-sebut sebagai masa overload  punggung Rinjani pada Agustus mendatang. Sehari bisa mencapai 1000 lebih kedatangan pendaki. Ini belum termasuk setengahnya, bahkan lebih, pendaki yang masuk melalui jalur tikus.

Menjajal jalur resmi dengan segala risikonya, akan dibarengi dengan asuransi, termasuk di dalam retribusi yang dibayar. “Kalau ada yang melalui jalur tikus Torean, kami tidak bisa bertanggung jawab, itu belum resmi,” kata Mustaan, SP Kepala Resort Sembalun ketika menyampaikan pesan kepada  pada pendaki di pos register dan pembelian tiket. Dia juga mengingatkan jalur Torean  dan Sambi Elen rawan longsor, karena struktur tanah pegunungan itu labil.

Tapi yang namanya peringatan, ada yang patuh, tidak sedikit yang nekad. Selasa (12/7/2016) pukul 06.00 Wita, Suara NTB  mencoba menjajal jalur tikus dengan harapan menemukan pengalaman mereka yang memacu adrenalin di ruas ini. Karena di jalur ini, tidak melulu disuguhkan dengan hamparan padang savana bak ‘bulu domba’, atau semerbak bunga bunga khas pegunungan. Atau desir pohon cemara dibelai  sapuan kabut yang dapat kita temukan ketika melalui jalur Sembalun dan Senaru.

Di jalur tikus, ada ungkapan yang lumayan membuat bergidik. Karena di kiri tebing, kanan jurang belasan hingga puluhan meter. Sementara kaki hanya berpijak pada jalan setapak. Jika ada pendaki lain berpapasan, maka yang salah satunya harus menempel di tebing. Gambaran suasana ini tak jauh beda dengan tulisan jurnalis Alfian Hamzah berjudul Kejarlah Daku  Kau Kusekolahkan  dalam antologi liputan mendalam “Jurnalisme Sastrawi”, yang menggambarkan pengalaman hidup dengan serdadu – serdadu Indonesia di Aceh.  Sebuah ‘gilanya’ medan berat, salah satunya di Takengon untuk memburu Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ketika pasukan TNI dan pemberontak berpapasan melalui jalan setapak di jurang dan tebing, hanya dua pilihan ; saling tembak atau salah satu harus melompat ke jurang namun dengan sedikit harapan hidup.

Begitupula saat melalui jalur tikus. Baru beberapa kilometer setelah beranjak dari Danau Segara Anak, jalan menanjak dan tiba-tiba menemukan ruas yang setegak tiang, setinggi tiga meter. Beruntung ada tangga dari bahan kayu hutan, tapi dibuat seadanya. Agar tak tergelincir menggelinding ke lembah, harus dibantu pendaki yang sudah berhasil melewati tangga.  Rupanya itu tantangan pertama. ‘’Setelah ini ada jalan yang berbahaya. Cuma jalan setapak, kiri  dan kanan jurang. Fokus saja lihat ke depan,’’ saran Yadin Black, pemandu rombongan kami.  Tidak panjang, sekitar lima meter, hanya pas selebar telapak kaki.

Setelah keringat dingin bercucuran melalui jalur ini, setidaknya terhibur dengan desir halus air terjun setinggi 17 meter di tebing seberang jalur tadi. Limpahan air terjun itu bergabung dengan aliran air Kokok Puteq.

Perjalanan menjadi segar saat melihat aliran sungai Kokok Puteq di antara dua lembah pegunungan Rinjani. Aliran airnya bening diantara bongkahan batu berbagai ukuran. Sesuai namanya, warna air putih, campuran belerang dari gunung api aktif Rinjani yang mengendap di dasar sungai. Sebuah spot yang sangat pantas disebut spot wisata luar biasa. Apalagi Kokok Puteq masuk diantara Geodiversity  atau keanekaragaman geologi  Rinjani untuk merebut status sebagai Geopark Dunia dan menjadi “fitur” wisata yang pantas disejajarkan dengan objek lainnya di dunia.

Di pinggir air sungai Kokok Puteq, banyak pejalan kaki yang memilih camping di sekitar sungai ini. Karena di sekitarnya ada titik titik mata air yang bisa dikonsumsi.  Melewati sungai, pendaki dihadapkan lagi dengan jalur paling mendebarkan. Konsentrasi dan menjaga keseimbangan untuk melewati satu jam perjalanan menyusuri jalan setapak di topografi pegunungan yang permukaannya hanya hijau ilalang. Dari kejauhan, jalan hanya  ditandai dengan garis  meliuk liuk mengikuti kontur dinding pegunungan.

Jika tidak ingin mengambil risiko, maka berjalanlah hati-hati dan posisikan tubuh sedikit condong ke tebing. Atau jika merasa benar-benar menjadi pendaki amatir, merayaplah sambil berpegangan di ilalang. Ketika terpeleset, setidaknya tubuh tetap menempel di tebing. Setidaknya ada tiga tangga kayu lagi ditemukan Suara NTB, yang kondisinya juga tak kalah kurang layak. Di tangga kayu terakhir, ada sungai kering. Ujung sungai itu, terhubung langsung dengan mulut jurang. Ada kengerian, tapi dari posisi inilah pendaki bisa leluasa melihat air terjun Mayung Puteq setinggi sekitar 45 meter, yang masih masuk di Desa Bilok Petung, Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur.  Warnanya putih, merupakan aliran sungai Kokok Puteq dari Danau Segara Anak. Tapi pengalaman para pengunjung yang mampu tembus dengan menuruni 244 anak tangga di sana, tidak ada satu loket pun tersedia untuk menarik retribusi. Pengunjung dapat menikmati keindahan air terjun dengan gratis.

Setelah pemandangan air terjun itu, trek berlanjut menuju medan berikutnya, hutan tropis yang masih masuk kawasan TNGR. Perjalanan sedikit melegakan karena terlindung rimbun pepohonan hutan. Jalurnya menurun, menanjak hanya beberapa kilometer, begitu  seterusnya. Setelah perjalanan sekitar tiga jam, sampai di tengah ada jalur bercabang. Dengan petunjuk yang minim, tapi pendaki berpengalaman, itu dua jalur pilihan untuk keluar dari kawasan hutan, yakni ke trek Torean  dan Sambi Elen. Suara NTB bersama rombongan melalui jalur Sambi Elen yang tembus ke perkebunan jagung setelah perjalanan sekitar 4 jam. Keluar dari hutan, pendaki akan masuk ke Dusun Pengadangan, Desa Senanga, Kabupaten Lombok Utara (KLU).

Desa ini sebagian penduduknya beragama Hindu. Mereka berkebun, ada yang menjadi tukang ojek untuk pendaki yang datang atau menuju jalan utama Kecamatan Bayan. ‘’Tarifnya sampai ke aspal Rp 80.000,’’  kata Ketut Putrayasa, yang mengaku kecipratan hasil dari masuknya pendaki dari jalur itu, meski belum resmi. Tapi menurut Nengah Darsana, tukang ojek lainnya,  selepas Ramadhan , banyak pendaki, pemancing dan umat Hindu yang akan melakukan ritual masuk melalui jalur itu, semua untuk tujuan ke  Danau Segara Anak.

Kepala Dusun Pengadangan, Nengah Darsana mengaku warganya sangat berharap kepada TNGR agar jalur itu diresmikan. Bentuk kesungguhan keinginan warga itu, dengan memperbaiki jalur yang rusak dua kali dalam setahun. Setiap ada informasi kerusakan jalan dari pendaki yang balik, akan ditindaklanjuti dengan menyusuri guna diperbaiki.  Hanya sekelas UKM, seperti kios dan jasa parkir yang memperoleh pemasukan.  Dia membayangkan peningkatan kesejahteraan bagi warga dengan berbagai keahlian memberikan pelayanan kepada pendaki.

‘’Sampai kemarin  saja, lebih dari 500 pendaki yang naik lewat jalur ini,” kata Nengah kepada Suara NTB, Minggu sore via ponsel. Agustus bahkan diperkirakan pendaki bisa mencapai 1000 orang per hari. Tapi apa daya pemerintah desa sampai dusun di sana, karena jalur ilegal, maka tidak ada selembar karcis pun bisa disodorkan atau secuilpun retribusi tak ditarik. ‘’Kita kepingin sekali jalur ini resmi. Saya beberapa hari ke depan akan bertemu dengan Pak Kades membahas ini, supaya segera disampaikan ke Pemerintah KLU dan TNGR,” harapnya. (ars)