Ketika Retribusi Lebih Prioritas dari Keselamatan

0

Segala regulasi yang berkaitan dengan Gunung Rinjani, dari soal regulasi dan kebijakan lain dibawah kendali Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Urusan retribusi dan kebijakan pengelolaan juga menjadi kewenangan lembaga vertikal tersebut. Namun masih jadi pertanyaan soal keselamatan pendaki. Fasilitas yang ada masih dianggap kurang memadai. Keadaan berbeda yang harus jadi atensi ketika semua pihak menaruh asa Rinjani ditetapkan jadi Geopark Dunia.

PULUHAN pendaki, Sabtu (9/7/2016) antre di loket Rinjani Trekking Center (RTC) Sembalun, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Suasana masih dingin Pukul 07.00 Wita. Matahari belum juga menyembul karena terhalang bukit sekitar RTC. Puluhan pendaki yang antre didominasi pendaki lokal, sebagian diantaranya mancanegara. Ada dua petugas melayani antrean yang memanjang hingga dekat pintu masuk. Satu petugas melayani pembayaran untuk tarif pendaki lokal Rp 20.000 per orang. Sementara pendaki asing Rp 150.000 per orang.

“Sampai hari ini sudah 854 orang yang terdaftar mendaki untuk lokal. Kalau ditotal dengan mancanegara mencapai 950 orang,” kata Kepala Resort Sembalun,  Mustaan, SP kepada Suara NTB. Diperkirakan, hingga siang dan keesokan harinya pendaki akan terus berdatangan dan akan mencapai puncaknya Agustus mendatang. Karena banyak agenda trekking yang diakuinya sempat tertunda sebulan penuh karena Juni masih Ramadhan. Kalau pun ada yang mendaki, jumlahnya relatif sedikit. Sehingga dalam sehari diperkirakan pendaki akan mencapai diatas 1000 orang.  Data ini belum termasuk pendaki yang masuk melalui pintu Senaru Kabupaten Lombok Timur.

Soal retribusi dari tarif Rinjani itu TNGR memang memiliki kuasa penuh. Dengan membayar sesuai ketentuan, pendaki akan mendapatkan Surat Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi) atau surat izin pendakian. Selesai membayar, pendaki yang sudah packing berangkat menggunakan kendaraan menuju titik start hanya beberapa kilometer dari RTC.

Sebelumnya, Mustaan membagikan kepada para pendaki bekal satu kantong plastik untuk menampung sampah dari makanan dan minuman yang dibawa naik. “Apa yang dibawa naik, itu yang dibawa turun lagi,” imbau Mustafa. “Jaga kesehatan diri, jaga juga keselamatan,” ujar Mustaan.

Pengamatan Suara NTB di RTC tidak tersedia fasilitas atau pelayanan lain yang memungkinkan pendaki dalam keadaan safety dari segi fasilitas dan fisik. Di depan RTC hanya terdapat plang peringatan yang dipajang, berisi beberapa poin larangan kepada pendaki yang memiliki riwayat penyakit jantung, asma hingga ambien. Selebihnya tidak ada pemeriksaan kesehatan.

Menurut Mustaan, fasilitas atau pun bentuk pelayanan kesehatan memang tidak ada. Personel yang ada merupakan petugas ditempatkan Kementerian Kehutanan untuk melayani pendaki dan mengingatkan tentang cuaca dan kemungkinan lain yang dianggap membahayakan pendaki. “Personel kami ini saja kurang untuk check list lagi sampah yang dibawa turun,” akunya.

Rinjani
Puluhan pendaki melalui kontur kaki Rinjani menuju pos II Sembalun.

Keamanan Belum Terjamin

Trail menuju Pelawangan-Sembalun tergolong berat. Denny, pendaki asal Surabaya yang berpengalaman menjajal sejumlah gunung di Pulau Jawa, mengakui beratnya medan trekking. Rute yang di lalui dari Sembalun hingga ke Pelawangan bisa mencapai 10 jam. Wisatawan atau pendaki yang punya dua pilihan. Mereka tiba di Sembalun sore, diperbolehkan memulai perjalanan dan beristirahat di pos II atau pos III. Jika tiba malam hari, maka petugas TNGR melarang mereka berangkat karena pertimbangan keselamatan, karena ada sejumlah kasus pendaki tersesat.

Jalur yang dilalui awalnya hanya menanjak biasa, terkadang bertemu jalur menurun dengan lembah kali mati. Kiri kanan jalan setapak itu pemandangan indah padang savana menjadi penyejuk disaat peluh terus bercucuran. Pendaki yang membawa ransel carrier  (baca : Keril) tak kalah berat karena harus menanggung beban barang perlengkapan dalam tas sebesar lemari es.

Sampai di pos I Sembalun  berjarak 3,5 Kilometer adalah kelegaan. Pendaki bisa beristirahat untuk sekedar menenggak minuman yang dibawa dan makanan ringan. Porter yang disewa pendaki sebagian ada yang sibuk memasak.

Setelah istirahat seperlunya, perjalanan dilanjutkan. Jalur yang dilalui pendaki masih relatif sama, disuguhkan pemandangan padang savana di gundukan kaki pegunungan, tapi trail berikutnya terus menanjak tanpa jeda. Hingga sampai ke pos II. Pendaki semakin ramai, berduyun duyun, berkumpul untuk persiapan menuju pos II ekstra.

Istirahat di pos II ekstra dua hal yang dirasakan para pendaki, keindahan sekaligus rasa getir ketika melihat dua bukit berbeda, bukit penyesalan dan bukit penderitaan. Bukit penyesalan berfungsi terakhir tahun 2002, menjadi jalur paling “mengerikan” bagi pendaki dahulu. Jika tidak kuat mental, apalagi fisik, melalui trak zig zag dan menanjak, maka pilihannya lanjut atau malah lempar handuk dan kembali. “Sekarang bukit ini tak berfungsi lagi. Yang kita mau lewati setelah ini bukit penderitaan,” kata Yadin Black, pemandu yang mendampingi Suara NTB, kemudian menunjuk ke arah bukit yang rimbun dengan pohon cemara.  Jalur dengan kemiringan sekitar 15 – 20 persen. Jika organ jantung tidak kuat, atau punya riwayat penyakit asma, pendaki disarankan tidak cukup dengan modal semangat.

Sebenarnya, menurut Denny pendaki asal Surabaya, disinilah perlunya pemeriksaan kesehatan pada calon pendaki sebelum memulai perjalanan berat. Dengan maksud agar tidak lolos wisatawan lokal maupun mancanegara yang memiliki riwayat penyakit berat itu, karena jika terjadi sesuatu akan menjadi masalah baru. “Pengalaman saya mendaki di Semeru, itu lengkap, termasuk fasilitas kesehatannya. Sebelum mendaki, kesehatan kami dicek, jantung, tekanan darah. Kalau ada riwayat sakit, dilarang mendaki,” kata Denny membandingkan.

Pengalaman itu juga diutarakan Fikri Junaidi, pendaki asal Sidoarjo yang baru pertama kali mendaki di Rinjani. “Saya rasakan safety pendaki kurang di sini  (Rinjani, red),” akunya.

Ada “berlaku” humor segar untuk sekedar menghibur para pendaki untuk sekedar mengurangi rasa lelah. Apalagi jarak relatif jauh masih sekitar 3 kilometer menuju pusat camp di Pelawangan. Misalnya, pemandu terkadang akan mengatakan jarak sudah semakin dekat. “Ayo semangat, sedikit lagi kok,” ujar seorang pemandu (guide). “Tapi sedikit lagi kalau jarak di peta,” lanjutnya, sembari tertawa ringan. Pendaki lain yang mendengar pun ikut tertawa.

Humor humor lain juga mengiringi ketika sepatu outdoor  para pendaki berusaha menyelesaikan etape menuju pos III ekstra. Di sini tidak ada alat pengaman yang dipasang terutama ketika melalui kontur pendakian ekstrim, dengan struktur permukaan tanah dan bebatuan. Praktis pendaki hanya mengandalkan rumput atau ranting pepohonan di sekitarnya, atau dibantu ditarik pendaki lainnya untuk sampai ke pijakan berikutnya. Ada tiga bukit yang harus dilalui sehingga sampai ke Pelawangan. Bukit terakhir disebut Cemare Siu, karena ada ribuan pohon cemara rimbun di sana.

Dari Sembalun ke Pelawangan, jalur ini paling melelahkan karena paling miring dibanding bukit sebelumnya. Perjalanan sudah mulai gelap. Pada trakker pun harus mengeluarkan headlamp. Sementara kabut terus menebal dalam jarak dekat, bahkan menutupi punggung bukit, semakin menambah dingin suasana dan fisik yang semakin lelah.

Rombongan yang diikuti Suara NTB akhirnya tiba di Pelawangan sekitar Pukul 19.30 Wita  dan menginap bersama ratusan pendaki lainnya yang berjejal membangun tenda warna warni di punggung bukit, untuk persiapan pendakian ke puncak (summit trekking) ke ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl). (ars)