Besar, Potensi Energi Biomassa di NTB

0
POTENSI BESAR: TPAR Kebon Kongok memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi sumber daya energi biomassa (Suara NTB/ist)

Mataram (Suara NTB) – Program substitusi penggunaan energi pada pembangkit eksisting melalui program co-firing biomassa di Provinsi NTB terus ditingkatkan. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang sebagai pengguna energi biomassa berupa refuse derived fuel (RDF) berharap agar volume energi terbarukan itu bertambah sesuai dengan perencanaan.

SPS Pengelola Energi Primer PLTU Jeranjang Pungkas Aprianto mengatakan, penyediaan RDF untuk material co-firing di PLTU masih minim yaitu sekitar 5 ton per bulan. Namun demikian, energi bauran tidak hanya mengandalkan RDF, namun sudah mulai memanfaatkan serbuk penggergajian kayu serta sekam padi dengan volume sekitar 300 ton per bulan.

“Kita lakukan pemberdayaan di lingkup NTB. Kita memberdayakan masyarakat untuk pengadaan material biomassa dengan menggandeng masyarakat sekitar. Ada yang dari Lombok Tengah juga, Lombok Timur,” ujar Pungkas Aprianto kepada Suara NTB akhir pekan kemarin.

Untuk proses co-firing di PLTU Jeranjang, pada awalnya tak bisa dilakukan selama 24 jam dengan persentase 3 hingga 4 persen. Namun proses co-firing bisa dilakukan hanya 8 hingga 12 jam perhari. Sebab pasokan RDF dari TPAR Kebon Kongok masih sedikit, sehingga belum mampu untuk memenuhi co-firing dalam persentase yang lebih tinggi.

“Yang membuat kita tetap bisa melakukan co-firing adalah ketersediaan pasokan ya. Kalau dari TPA Kebon Kongok bisa memberikan kepastian suplai biomassa, itu sangat bagus buat kita,” terangnya.

Pungkas mengatakan, saat ini PLTU Jeranjang sudah mulai berpikir bagaimana meningkatkan persentase penggunaan material co-firing, dari semula 3 hingga 4 persen menjadi sekitar 10 hingga 15 persen jika pasokannya andal. Terlebih pihaknya sudah melakukan pembahasan dengan PLN Wilayah NTB terkait dengan rencana untuk meningkatkan volume bahan co-firing ini.

“Kita juga sudah diskusi dengan pihak laboratorium, jika kita tingkatkan co-firing itu apakah nanti apakah ada pengaruh terhadap peralatan-peralatan boiler atau tidak. Jika nanti dari hasil kajiannya itu peralatan boiler masih aman, maka kita akan lanjutkan untuk meningkatkan persentase untuk co-firing,” ujarnya.

Sebagai gambaran saat ini, satu unit pembangkit membutuhkan konsumsi sebanyak 550 ton batu bara dalam sehari. Jika co-firing dengan energi biomassa dengan persentase sebanyak 5 persen saja, maka kebutuhan biomassa sebanyak 27,5 ton per hari.

“Sehingga jika Kebon Kongok akan meningkatkan kapasitasnya menjadi 15 ton per hari misalnya, maka itu belum cukup. Sehingga kita tetap butuh suplai energi biomassa dari sumber yang lain seperti dari sekam padi maupun serbuk gergaji kayu,” katanya.

Menurutnya keterlibatan masyarakat dalam penyediaan energi biomassa ini dengan menghadirkan sekam padi dan serbuk limbah kayu tersebut. Dalam hal ini PLN tidak melakukan pembelian kepada orang-perorang, namun melalui koperasi yang sudah ditunjuk.

“Bagi yang ingin berpartisipasi di TPA Kebon Kongok, bisa bekerjasama di sana, karena dengan penambahan kapasitas maka butuh main power. Artinya bisa memberdayakan masyarakat sekitar untuk mengolah sampah,” tambahnya.

Di tahap Litbang ini, pihak PT. Indonesia Power atau PLTU Jeranjang memberikan bantuan berupa mesin atau peralatan produksi serta bahan-bahan yang dibutuhkan untuk produksi RDF yang bertempat di TPAR Kebon Kongok.

Namun untuk tahap komersialisasi saat beroperasinya Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) tahun 2023 mendatang, maka akan ada perjanjian kerjasama untuk pembelian RDF dari pihak penyedia energi biomassa atau dari BLUD TPA Kebon Kongok. “Terkait dengan berapa harga jual per kilonya akan ada bahasan tersendirinya,” katanya.

Seperti diketahui, program bauran energi nasional antara lain dilakukan dengan mendorong pembangunan pembangkit EBT yang baru dan juga melakukan substitusi penggunaan energi pada pembangkit-pembangkit eksisting.

Namun, membangun pembangkit EBT tentunya memerlukan investasi yang besar dan waktu yang cukup lama, sehingga untuk jangka pendek dan menengah diperlukan upaya dan terobosan untuk mencapai target peran EBT secara cepat dan juga murah. Salah satu solusi jitu mengatasi tantangan ini yaitu melakukan substitusi penggunaan energi pada pembangkit eksisting melalui program co-firing biomassa.

Sementara itu praktisi pengolahan sampah di NTB Syawaludin mengatakan, sampah jika dikelola dengan baik akan menjadi sumber daya yang besar, baik untuk energi biomassa maupun produksi. Khusus untuk energi dari RDF menurutnya yang harus dipersiapkan adalah bagaimana kesiapan suplai bahan baku sesuai dengan mesin yang ada di TPAR Kebon Kongok.

“Saya dengar kabar mesin RDF itu kapasitasnya 120 ton per hari. Itu luar biasa untuk membantu menangani persoalan sampah,” ujarnya. Artinya jika mesin TPST RDF ini sudah beroperasi tahun depan, maka akan mampu memperkecil sampah yang masuk ke landfill TPA Kebon Kongok yang sudah lama menggunung.

TPST RDF yang sedang dalam proses pembangunan ini memiliki konsekwensi biaya dalam operasionalnya nanti. Sehingga pemerintah atau mungkin pihak ketiga yang akan mengurus mesin ini nantinya harus memiliki skema pembiayaan yang jelas. Sehingga kehadiran mesin TPST ini diharapkan masyarakat bisa secara aktif terlibat dengan cara melakukan pemilahan,” terang Syawal. (ris)