Musim Kemarau Beli Air, Musim Hujan Tadah Air Hujan Untuk Konsumsi

0

Desa Mumbulsari dan sekitarnya sudah sejak lama mengalami krisis air bersih. Bahkan di musim hujan pun, tidak menjamin warga tersuplai air bersih. Berikut potretnya.

MUMBULSARI merupakan desa perbatasan Kecamatan Bayan dan Kecamatan Kayangan. Dulunya merupakan wilayah transmigrasi lokal. Tidak heran, dusun-dusun yang ada di desa itu identik dengan nama wilayah asal warganya. Kebanyakan dari Lombok Tengah. Misalnya, Pengadang Baru, Pengadang, Jeruju, Munder dan lainnya.

Bagi warga setempat, kondisi desa ini sedikit lebih baik setelah infrastruktur listrik dan jalan aspal, diprogramkan oleh pemerintah. Namun tidak demikian dengan air bersih. Mereka masih harus berjuang keras.

Hanya beberapa meter dari kantor desa, terdapat mata air Lokok Reban. Terletak di jalur jalan nasional. Sumber air inilah, satu-satunya sumber ketergantungan warga. Air dari mata air ini disedot setiap hari. Truk, dump truck dan kendaraan pick up, jamak terlihat mengantre.

Pada saat gempa Agustus 2018 lalu, sumber air ini menjadi penyelamat warga. Tidak hanya warga Mumbulsari, tetapi warga sekitarnya. Seperti di Desa Salut (Kecamatan Kayangan) ataupun Desa Akar-Akar, Bayan.

Namun bagi warga Mumbulsari, krisis air seakan-akan situasi yang sudah biasa. Sebab dalam 1 tahun, warga hanya libur membeli air dalam 3 bulan saja. Tiga bulan itu berkisar antara Januari – Maret, atau tepatnya pada musim penghujan.

Pada musim hujan, warga sedikit tertolong. Air hujan tidak dibiarkan tumpah begitu saja. Di bawah atap rumah-rumah warga, saluran perpipaan dipasang sedemikian rupa untuk mengalirkan air hujan, lalu ditampung pada sebuah bak penampung. Tidak heran, di setiap rumah sudah tersedia bak penampung.

“3 bulan turun hujan, kami tidak beli air, selebihnya beli. Air yang kami gunakan adalah air hujan yang kami tampung. Kadang untuk mencuci, kami juga ke kali kalau kebetulan ada airnya,” kata warga Pengadang Baru, Saidah, Sabtu, 29 Juni 2019 malam.

Kebetulan sehari sebelumnya, Saidah sudah memesan 1 truk air. Harganya Rp 100 ribu. Harga ini adalah kompensasi paling murah, karena Pengadang Baru berjarak 1,5 km saja dari Lokok Reban di mana mata air berada. Namun. Bagi dusun lain, harga air disesuaikan dengan jarak. Misalnya di Jeruju, harga 1 truk air Rp 125 ribu. Sedangkan di Munder (dusun terdalam), harga air berkisar Rp 200-300 ribu per truk.

Kondisi jalan yang tidak semuanya hotmix ikut mempengaruhi harga. Salah satu kasus, di Dusun Jeruju yang tidak bisa diakses truk, maka alternatif menggunakan tandon yang diangkut pick up. Harga 1 tandon di Jeruju, sama dengan harga 1 truk air di Pengadang, yakni Rp 100 ribu.

Lantas berapa lama pemakaian air 1 truk? Menurut Saidah, ia dan keluarganya berikut menantu, berjumlah 7 orang. Dalam sebulan, ia harus membutuhkan 3 truk. Air itu untuk semua keperluan, dari memasak, mencuci, mandi dan konsumsi air untuk ternak.

Pada periode rehab rekon rumah gempa ini, warga sekitar juga sudah menyadari kekurangan air bersih. Untuk membangun rumah, warga dipaksa untuk membeli kembali air bersih.

“Saya lahir di sini, dibesarkan di sini, dan menikah juga dengan warga sini. Sejak sebelum menikah, sudah tidak ada air,” tandasnya.

Untuk diketahui, warga Pengadang Baru dan Lokok Reban bagian selatan, sewajarnya sudah terbantu ketersediaan air. Asalkan sumur Bor Jeruju yang menghabiskan dana miliaran rupiah, termanfaatkan. Namun apa daya, pascapengeboran Sumur Bor di Dusun Jeruju tahun 2017 lalu itu, saat ini mangkrak. Hanya pada saat ujicoba saja sumur bor tersebut berfungsi. Setelahnya, warga hanya dibuat meneteskan air liur melihat bangunan bor dan sejumlah reservoar yang berjejer di sawah-sawah warga. Untuk kondisi ini, Pemda KLU sepertinya harus turun lagi, menganalisa masalah, dan mencari solusi agar krisis air tidak berkepanjangan.

Sementara warga lain, Abdurrahim, mengakui kesulitan air di dusunnya sudah berlangsung sejak lama. Saat ditemui koran ini, ia tengah dibawakan satu truk air bersih. Baginya, air di dusunnya sangat berharga. Sehingga gga warga tidak segan untuk membeli air dari hasil penjualan jagung yang ditanam sekali setahun.

“Paling seminggu habis, apalagi kita mau buat rumah bantuan gempa, diminum juga oleh ternak. Hampir seluruh warga di Pengadang ini minta diantarkan air,” katanya.

Senada Saidah, Abdurrahim juga mengaku lebih sering membeli air. Hanya pada saat musim hujan mereka tidak.membeli, sebab air hujan yang ditampung diergunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari. “Memang di kampung sebelah ada sumur bor. Tapi hanya sebentar dipakai, setelah itu mati sampai sekarang,” cetusnya.

Sementara itu, sopir angkut air bersih, Udin, di hadapan Abdurrahim mengakui mengangkut air seolah menjadi pekerjaan rutin. Ia tidak pernah absen menerima pesanan warga.  “Saya mengangkut air sudah bertahun-tahun. Dalam sehari bisa sampai 8 kali, sampai tengah malam pun saya antarkan,” sebutnya.

Volume rit pengantaran air bersih kata dia bergantung dari keramaian kendaraan yang antre. Ia membayangkan, pada bulan-bulan berikutnya akan lebih banyak kendaraan yang antre. Dalam situasi itu, ia memprediksi hanya bisa mengangkut antara 4-5 kali sehari karena antrean yang panjang. “Dari 9 dusun di Mumbulsari, 8 dusunnya sudah mulai kekeringan sejak bulan lalu,” tandasnya. (ari)