Pria Paruh Baya Asal Lotim Ini Mampu Kuliahkan Anak dari Hasil Jualan Gula Gending

0

Mataram (suarantb.com) – Jarum jam telah melewati pukul 12.00 siang. Seorang pria paruh baya berjalan di bawah terik matahari yang semakin menyengat. Langkahnya pasti. Seolah tidak terpengaruh dengan sengatan panas matahari yang semakin terik.

Mengenakan topi bundar dan lebar, sejenis topi fedora serta kain berwarna kuning yang disampirkan pada lehernya, lelaki itu berjalan kaki menyusuri gang demi gang yang ada di Jalan Panji Tilar Negara, Kelurahan Kekalik Kota Mataram.

Jemari tangannya nampak lincah memainkan sebuah alat yang dibawa, mencuri perhatian siapa saja yang menyaksikan. Alat itu bernama gula gending. Dari alat itulah tercipta alunan irama musik yang sangat umum terdengar di era tahun 1990-an. Dinamakan gula gending, selain dapat ditabuh sebagai alat musik, wadah di dalamnya digunakan sebagai penyimpan kembang gula atau harum manis yang dijual.

Namanya Pak Fahmi. Pada usia yang mendekati 60 tahun, ia masih bersemangat berjalan kaki menjajakan harum manis buatannya. Saat ini, penjual harum manis atau gula gending seperti Pak Fahmi sudah sangat jarang ditemukan di kota besar seperti Mataram. Termakan zaman dan tergantikan oleh kue dan jajanan modern lain.

Lelaki yang berasal dari Kabupaten Lombok Timur (Lotim) itu mengaku tidak membuat gula gending sendiri. Ia bersama 25 orang penjual lain, tinggal dalam satu kawasan di daerah Mayura, Cakranegara. Mereka membuat harum manis secara bersamaan. “Ada 25 orang lain teman saya, kita tinggal bareng dan buat bersama-sama,” ungkapnya kepada suarantb.com, Minggu, 30 April 2017.

Ia mengaku, 25 tahun masa hidupnya telah dihabiskan untuk berjualan gula gending. Ia pun harus berjalan puluhan kilometer mulai pukul 08.00 hingga pukul 15.00 untuk menjajakan gula gending di wilayah Kota Mataram.

Tidak ada keluhan yang terlontar ketika Fahmi menceritakan kisah hidupnya. Karena ia percaya rezekinya telah diatur oleh Tuhan dan manusia hanya perlu berusaha.

Tidak ada yang menyangka, justru dari profesinya sebagai penjual gula gending itu, ia mampu menyekolahkan kedua anaknya hingga perguruan tinggi.
“Dari jualan ini saya bisa sekolahkan dua anak saya sampai kuliah. Sekarang satunya sudah kerja, satunya lagi masih kurang 1 tahun,” ujarnya.

Bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi, menjadi motivasi bagi Fahmi untuk terus berjualan gula gending. Ia mencurahkan kebanggannya dengan memiliki profesi penjual gula gending yang mulai punah.

Tak tanggung-tanggung, sebelumnya Fahmi mengaku pernah berjualan gula gending hingga ke luar daerah seperti Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Namun akhirnya, ia memutuskan untuk berjualan di Kota Mataram.

Dari penghasilannya berjualan gula gending, setiap hari bisa meraup Rp 200-300 ribu. Dari jumlah tersebut, ia mengaku mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya di Lotim dan untuk membiayai kedua anaknya yang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di Gumi Patuh Karya. “Harganya macam-macam, bisa Rp 1000 bisa Rp 3000, bisa Rp 10.000, semua terserah pembeli,” tuturnya.

Di usianya yang tidak lagi muda, faktor fisik dan kesehatan kadang menjadi kesulitan untuk berjualan. Namun, ia menyisati itu dengan menggunakan olesan balsem dan obat yang dapat menghilangkan rasa pegal dan sakit. “Saya pakai balsem dan obat biar tidak cepat capek dan bisa jalan jauh,” tandasnya. (hvy)