Bahkan, Rinjani dan Gili Trawangan “Bersih Karena Ahok”

0
Oleh : Mohammad “Aan” Azhar *

Manakah yang lebih berjasa dalam membersihkan Gunung Rinjani dan Gili Trawangan? Foke atau Ahok? Jika anda butuh sebuah lelucon kecil untuk mengisi kesibukan harian anda, carilah jawabannya di Google. Jawabannya akan terlihat persis seperti gambar di atas.

Tapi, kita tinggalkan dulu lelucon tentang “Foke atau Ahok”. Kita bicara saja dua objek wisata di NTB ini ; Gunung Rinjani dan Gili Trawangan. Mereka dua objek wisata ikonik di NTB. Dan seperti sejumlah objek wisata lainnya, keduanya dikelola dengan standar pengelolaan kebersihan yang masih amatiran.

Tahun 2015 saja, produksi sampah di Gili Trawangan, diperkirakan mencapai 16 ton sehari. Jumlah sampah yang sebanyak ini membuat orang-orang mulai resah. Pulau secantik itu, sampah sebanyak itu.

“Saya khawatir, di tiga gili ini (Trawangan, Gili Air, Gili Meno), akan nambah satu gili lagi, Gili Sampah,” kelakar Kepala Dusun Gili Trawangan, H. Taufik, saat berbincang dengan Suara NTB, beberapa waktu lalu.

Sampai kini, persoalan sampah di Gili Trawangan sudah dicari solusinya. Namun, yang dicari tidak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Mencari solusi sampah di Gili Trawangan ini lama-lama terasa seperti mencari keadilan dalam sidang pembunuhan Mirna. Rumit dan serba salah.

Bagaimana dengan Gunung Rinjani? Gunung yang satu ini sedang naik daun. Penyebabnya karena kawasan Gunung Rinjani sudah masuk nominasi peraih gelar bergengsi sebagai geopark dunia. Masuknya Gunung Rinjani dalam nominasi ini membuat banyak orang mulai memperhatikan gunung ini. Ada yang hanya bisa memperhatikan dari kejauhan sembari menyiapkan rencana pendakian. Ada juga yang bisa datang dan memandang langsung. Yang datang dan sudah melihat langsung, biasanya segera sadar bahwa di tengah kecantikan dan pesonanya, Gunung Rinjani menyimpan persoalan yang sama dengan Trawangan. Persoalan sampah.

Pariwisata adalah sesuatu yang sulit dilepaskan dari kebersihan dan ketertiban. Mewujudkan dua kata ini di daerah manapun, jauh lebih sulit dari sekedar mengetikkan kata kunci di Google.

Pertama-tama, dibutuhkan kemauan untuk mengakui. Dengan mengakui, maka kita akan membenarkan bahwa masalah sampah ini adalah masalah yang memang perlu diatasi. Bukan diperdebatkan siapa yang benar dan salah. Bukan juga soal siapa sudah dan siapa belum berbuat. Lagipula, ini belum waktunya pemilihan Gubernur NTB bukan?

Kebesaran hati untuk mengakui persoalan ini dibutuhkan. Sebab, tidak sedikit oknum yang suka sewot dan menuding persoalan sampah yang diangkat ke permukaan sebagai persoalan yang dibuat-buat. Atau, persoalan seperti ini sengaja ditampilkan untuk menjatuhkan reputasi daerah ini di luaran sana. Ayolah, saya tidak percaya ada orang NTB yang memposting sampah Gunung Rinjani atau Gili Trawangan, lalu mendapatkan keuntungan politik apalagi keuntungan finansial dari ulahnya tersebut.

Jika demikian adanya, apakah demikian sulit untuk mengiyakan bahwa kita semua (tidak hanya pemerintah, melainkan juga masyarakat) belum berbuat maksimal untuk menangani persoalan yang satu ini? Pernahkah kita bertanya sejauh mana kita peduli terhadap kebersihan dan mulai berupaya memperbaiki cara kita memperlakukan sampah? Untuk memulai langkah-langkah tersebut, dibutuhkan kebesaran hati untuk mengakui bahwa selama ini kita belum melakukan itu. Lebih tepatnya, upaya itu belum dilakukan secara bersama.

Persoalan lain yang menjadi bagian dari problematika, adalah tata kelola destinasi wisata kita. Sumbat botol dari tata kelola destinasi wisata kita sepertinya terletak pada tidak adanya fokus pada tahapan pembangunan. Betapa banyaknya destinasi wisata kita yang dikelola nyaris tanpa tahapan yang jelas. Sebuah destinasi yang potensial, seringkali dikelola dengan melompat. Persis lompatan politik Ruhut Sitompul di Pilkada Jakarta. Belum selesai di sini sudah ke sana, belum selesai di sana sudah nempel lagi di tempat lain.

Berapa banyak ikon pariwisata yang fasilitas dasarnya belum tuntas atau masih bermasalah, namun sudah mulai digeber promosinya? Taruhlah promosinya berhasil mendatangkan orang. Saat orang datang, mereka bisa jadi hanya akan datang sekali itu saja. Sebab, pengalaman berwisata yang dialami tidak sesuai dengan yang dipromosikan.

Ketersediaan fasilitas dan mekanisme yang dapat menjamin kebersihan sebuah destinasi wisata adalah faktor dasar yang semestinya sudah terlebih dulu dijadikan prioritas sebelum kita gencar menggarap promosinya. Tentu saja ini bukan berarti kita harus mengerem promosi wisata kita. Promosi tetap penting. Namun, mengalihkan fokus kepada promosi sebelum selesai membangun destinasi hanya akan menghasilkan lompatan yang ceroboh.

Mumpung Rinjani dan Gili Trawangan sedang naik daun dan bisa dihubung-hubungkan dengan perdebatan “Ahok atau Foke” yang sedang tren di Google, masih ada kesempatan untuk menyetel ulang fokus kita dalam mengelola pariwisata. Belum pula kita terlambat karena Gunung Rinjani masih tetap didatangi orang dan Gili Trawangan belum punya anak kandung bernama Gili Sampah.

Nah, jika kita kembali ke persoalan “Ahok atau Foke” di Google, akan ada pertanyaan pula untuk NTB. Siapakah kira-kira Gubernur yang bisa membersihkan sampah di Gili Trawangan atau Rinjani? Pertanyaan ini silakan dijawab sendiri. Atau, agar ini tidak menjadi terlalu serius, bagaimana kalau kita tanya Google lagi?

* Wartawan di Suara NTB dan suarantb.com.
Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi suarantb.com.