Belajar dari Ketulusan Seorang Nenek dengan 28 Anak Asuh

0

Usianya memang tak lagi muda dan tenaganya pun tak sekuat dulu. Tapi siapa yang menyangka, di balik itu semua, seorang nenek, Hj. Umi Kalsum bersama dengan empat orang anak perempuannya rela menjadi tulang punggung bagi kehidupan 28 orang Yatim Piatu yang diasuhnya sejak tahun 2005 hingga sekarang.

28 orang anak yang diasuhnya tersebut merupakan anak- anak dengan latar belakang yang berbeda-beda mulai dari ditinggalkan orang tuanya pergi merantau dan tidak kunjung kembali hingga anak yang sengaja ditelantarkan.

Nenek Umi Kalsum, biasanya dipanggil menceritakan, pada awal tahun 2003 dirinya bersama sang suami memilih untuk berpindah tempat tinggal dari Kabupaten Sumbawa ke KSB tepatnya di Lingkungan Perjuk, Kelurahan Telaga Bertong di Kecamatan Taliwang.

Kepindahannya bersama sang suami ke KSB, sebenarnya untuk memulai kehidupan baru dengan suasana yang baru. Tetapi setelah beberapa tahun tinggal di lingkungan tersebut muncul keinginan untuk membuat rumah singgah dengan kondisi seadanya (gubuk) yang bisa digunakan oleh siapapun.

Di awal tahun 2005 hingga 2007 dirinya bersama sang suami mulai menerima anak-anak yang membutuhkan orang tua asuh meski dengan kondisi yang sangat terbatas. Tetapi karena niat yang tulus untuk membantu anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua, keterbatasan tersebut dianggap bukan menjadi masalah untuk berbuat baik terhadap sesama.

“Pada awalnya hanya ada sembilan orang yang kita asuh disini, tetapi lambat laun jumlah tersebut terus bertambah dan saat ini ada 28 anak yang kita asuh sekaligus kita sekolahkan,” sebutnya.

Pada tahun tersebut masih kuat di ingatannya, sudah ada sembilan orang anak dari lingkungan tempat tinggalnya yang diasuh dan disekolahkan. Di tengah keterbatasan itu, dirinya sempat berpikir tentang bagaimana memberikan anak-anak asuhnya tersebut makanan karena terus bertambah banyak.

Bahkan, anak-anak yang diasuhnya sejak kecil meski sudah menginjak usia dewasa mereka tidak mau meninggalkan rumah yang sudah membesarkannya itu. Tidak mau berlarut dengan kondisi yang serba terbatas, karena tekadnya untuk membantu sesama manusia. Akhirnya dia memutuskan untuk terus melangkah meski dengan kondisi tersebut.

Bahkan, untuk menutupi semua kebutuhan tersebut, dirinya bersama empat orang anaknya membuka warung makan dan kios kecil-kecilan di depan rumahnya. Dari hasil berjualan nasi inilah kemudian dia bisa memberikan makanan yang layak bagi anak-anak yang berada di rumah singgah tersebut.

Tidak mau terlena dengan apa yang diberikan oleh sang Nenek, anak-anak yang sudah beranjak dewasa akhirnya berpikir untuk membantu keuangan rumah singgah demi adik-adik mereka. Mereka pun rela mencari daun ubi untuk kemudian dijual ke pasar dengan harapan hasil penjualannya bisa untuk membeli beras.

“Subuh-subuh  biasanya anak-anak yang sudah dewasa mulai memetik daun ubi dan kelor untuk kemudian dijual ke pasar sebagai tambahan membeli beras. Itulah masa-masa sulit yang harus kami lewati dengan kondisi yang sangat terbatas dan pernah suatu hari anak-anak yang kita berikan makan dengan daun ubi dan sambal terasi karena tidak ada biaya untuk membeli ikan,” tuturnya.

Setelah berjalan beberapa tahun, tepatnya awal tahun 2008 dengan tekad kuat ditambah dengan semakin bertambah banyaknya anak-anak akhirnya dia bersama sang suami memiliki keinginan untuk mendirikan pantai asuhan.

Pada awal pendiriannya, keinginannya tidak muluk-muluk hanya untuk beribadah dan berbagi dengan masyarakat yang membutuhkan. Pada saat ini pendirian Yayasan tersebut, dirinya tidak memiliki modal apapun, sementara untuk membuat akte pendirian yayasan harus memiliki modal sebagi bukti.

Di tengah kondisi yang serba terbatas tetapi memiliki tekad yang kuat dia mengaku harus menggadaikan sertifikat rumahnya di Alas untuk mendapatkan pinjaman Bank. Nilai pinjaman yang bisa diberikan Bank hanya Rp30 juta. Dengan modal inilah yang digunakan untuk membenahi asrama yang sebelumnya hanya numpang tinggal di lokasi tanah masyarakat setempat sekaligus bisa memiliki akte pendirian Yayasan.

“Masa-masa sulit saya alami pada tahun 2011, karena di tahun itu sang suami yang selalu mendukung dan tempat bertukar pikiran meninggal dunia. Meninggalnya sang suami tentu membuat saya sangat terpuruk, tapi karena tekad saya sudah bulat tidak ada langkah mundur melainkan terus maju meski kondisi saat itu masih dalam kondisi merangkak,” ulasnya.

Di tengah-tengah kondisi sulit tersebut, di tahun 2013 dirinya mencoba untuk mulai bersuara ke Pemerintah untuk bisa membantu kondisi keuangan Panti dengan jumlah 28 anak yang diasuhnya. Pada saat ini Pemerintah memberikan dana sebesar Rp5 juta, dengan jumlah anggaran tersebut dan atas persetujuan anak-anaknya dibangunlah tempat yang bisa digunakan oleh anak-anak baik untuk tidur maupun tempat bimbingan agama bagi masyarakat sekitar.

Bahkan, saat ini, bangunan tersebut masih tetap terjaga dan dirawat kendati dari segi fisik sudah tidak lagi dianggap layak digunakan oleh anak-anak. Sempat ada rencana agar bangunan tersebut bisa dibongkar untuk dibangun yang lebih layak. Tetapi, karena bangunan itu merupakan ikon panti, dirinya enggan untuk membongkar. Kalaupun diperbaiki, maka bangunan harus sama persis seperti bangunan yang ada saat ini.

Atas jerih payah dan pantang menyerah tersebut tahun 2015 hingga sekarang ini, panti asuhan sudah memiliki donatur tetap yang bersedia berbagi rezeki dengan anak-anak. Bahkan setiap kegiatan dari Pemerintah, anak-anak panti asuhan ini selalu mendapatkan undangan untuk diberikan hadiah demi memberikan semangat hidup bagi anak-anak.

“Alhamdulillah sekarang kami tetap diperhatikan oleh Pemerintah dan para donatur alhamdulillah terus bertambah. Mari jadikan apa yang kita lakukan ini sebagai ladang ibadah bukan karena ada sesuatu dan lain hal,” tutupnya. (ils)