Usaha Perhotelan Kelimpungan, Penanggulangan Dampak Ekonomi Masih Nihil

0
Ernanda Agung Dewantoro. (Suara NTB/ist)

Mataram (Suara NTB) – Dampak penyebaran virus Corona (Covid-19) bagi sektor perhotelah semakin kelimpungan. Pasalnya, seluruh kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan melalui kebijakan-kebijakan khusus sampai saat ini belum terealisasi.

Ketua Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) NTB, Ernanda Agung Dewantoro, menerangkan pelaku perhotelan sampai saat ini belum mendapatkan kejelasan terkait kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sektor usaha ini. ‘’Sementara ini belum ada (kejelasan),’’ ujarnya saat dikonfirmasi, Senin, 13 April 2020.

Padahal, kebijakan tersebut sangat diharapkan. Khususnya, bagi hotel-hotel yang masih bertahan beroperasi. Dicontohkan Ernanda, beberapa kebijakan yang sangat dinantikan pihaknya adalah kejelasan terkait relaksasi pajak hotel yang beberapa waktu lalu akan diberikan.

‘’Itu yang kami harapkan. Tapi dengan tutupnya sebagian besar hotel di Lombok maka tidak ada pendapatan, yang artinya tidak ada pajak yang (bisa) masuk,’’ ujar Ernanda. Menurutnya, kebijakan tersebut hanyalah salah satu dari yang dibutuhkan pelaku usaha saat ini. “Relaksasi pajak hanya salah satu yang diharapkan pelaku pariwisata terutama perhotelan. Masih banyak biaya yang harus ditanggung, diantaranya biaya listrik,’’ sambungnya.

Di sisi lain, hotel-hotel yang bertahan disebut Ernanda sampai saat ini banyak melakukan inovasi. Diantaranya dengan memaksimalkan keberadaan restoran di hotel dengan menyediakan paket pesan antar. ‘’Ada juga yang berjualan paket isolasi (karantina, Red) diri. Banyak strategi dilakukan hanya untuk bertahan demi tetap berjalannya bisnis,’’ ujarnya.

Senada dengan itu, Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB, Anita Achmad, menerangkan sektor perhotelan saat ini memang babak belur oleh penyebaran Covid-19. Pasalnya, tingkat kunjungan wisatawan disebutnya menurun drastis secara global.

‘’Ini bukan hanya di kita, tapi ini sudah jadi masalah global,’’ ujar Anita, Senin, 13 April 2020. Menurutnya, dalam situasi saat ini pelaku usaha sektor pariwisata seperti perhotelan memang membutuhkan berbagai kebijakan khusus, termasuk untuk pembebasan pajak.

‘’Bagaimana mau bayar pajak, tamu saja sudah tidak ada,’’ ujar pemilik Hotel Grand Legi tersebut. Diterangkannya, saat ini hotel yang masih beroperasi sebagian besar ditujukan untuk melakukan pemeliharaan fasilitas yang ada. ‘’Sebagian besar pekerja sudah dirumahkan. Yang masuk pun hanya untuk maintenance (perawatan),’’ sambungnya.

Terpisah, Ketua Kehormatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, I Gusti Lanang Patra, menerangkan pihaknya masih menunggu kejelasan terkait kebijakan khusus yang akan diberikan pemerintah. ‘’Semua ini belum ada kejelasan. Kita semua harap-harap cemas,’’ ujarnya, Senin, 13 April 2020.

Ditekankan Lanang, realisasi atau kejelasan terkait kebijakan khusus tersebut sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha saat ini. ‘’Itu sangat penting untuk situasi saat ini. Kita semua sudah tidak berdaya,’’ ujarnya.

Menurutnya, pengoperasian sebagian besar hotel saat ini hanya mengandalkan subsidi yang diberikan dari internal perusahaan. Pasalnya, tingkat keterisian kamar mengalami penurunan drastis di bawah 5 persen.

‘’Ada tamu juga repot, karena dipantau terus. Apalagi tamu yang berasal dari zona merah,’’ ujar Lanang. Dalam prosesnya, PHRI NTB sendiri telah mengajukan beberapa usulan terkait penanggulangan dampak penyebaran Covid-19 tersebut di sektor pariwisata.

Selain kebijakan khusus untuk membantu keberlangsungan usaha, Lanang juga mengharapkan pemerintah memperhatikan kebijakan terkait nasib pekerja yang terpaksa dirumahkan. ‘’Kita minta pendaftaran karyawan yang dirumahkan untuk (program) Kartu Pra-kerja,’’ ujarnya.

Dengan begitu, para pekerja tersebut diharapkan bisa mendapat insentif pelatihan. Sehingga dampak penyebaran Covid-19 secara ekonomi di sektor usaha dapat diminimalisir secara menyeluruh. (bay)