Giri Menang (Suara NTB) – Tinggal sepekan lagi, bulan Ramadan akan berakhir. Di 10 hari terakhir bulan Ramadan ini, umat muslim di Lombok Barat khususnya sibuk merayakan tradisi Maleman. Tradisi maleman ini dimulai sejak tanggal 21 sampai 30 Ramadan. Tradisi ini dimeriahkan dengan pembakaran lampu jojor.
Bagi warga, Dile (lampu) jojor adalah sebuah lampu tradisional yang dibuat dari minyak pohon jamplong yang dicampur dengan kapas. Masyarakat Lombok sering menyalakan lampu ini untuk menyambut malam Lailatul Qadar.
Seperti perayaan Maleman Selae (malam 25) yang diadakan Warga Dusun Peseng Desa Taman Ayu. Tiap malam ke 20 warga setempat wajib menggelar tradisi meleman. “Tradisi maleman ini menurut orang tua kami bertepatan dengan malam turunnya Al-Qur’an,” jelas Masri.
Tradisi Maleman juga diadakan Warga Dusun Sambik Baru, Desa Sesaot Kecamatan Narmada Lombok Barat.
“Kita nyalakan ‘dile jojor’, sejenis obor kecil yang terbuat dari bahan buah camplung dan dibakar. Oleh warga kita, dan khususnya masyarakat Lombok Barat tradisi ini sering disebut dengan tradisi maleman,” ungkap Ulfa salah seorang warga Sesaot saat menyalakan Dile Jojor, Minggu, 17 Mei 2020.
Dia menjelaskan, biarpun di tengah mewabahnya pendemi corona atau covid-19 ini, warga masyarakat tetap antusias dengan menyelenggarakan tradisi maleman yang telah dilakukan sejak jaman dulu ini.
Kepala Dusun Sambik Baru, Junaidi menjelaskan bahwa maleman atau dile jojor ini dilakukan setiap malam ganjil di sisa 10 malam terakhir bulan ramadan yakni tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29 ramadan.
Tradisi dile jojor sebenarnya diawali dengan membawa dulang berisi nasi dan lauk pauk ke masjid untuk roah dan berbuka puasa bersama tokoh agama dan masyarakat. Tetapi dengan adanya penyebaran wabah covid-19 ini di masyarakat, sehingga dilakukan di rumah masing-masing.
“Ini adalah cara masyarakat kita dahulu sampai sekarang menyambut malam Lailatul Qadar,” jelasnya.
Dia menuturkan, bahwa dile jojor dinyalakan setelah ibadah shalat magrib. Dusun yang semula gelap ini menjadi terang terkena sinar dari nyala api dile jojor. Pria, wanita dan anak-anak di kampung ini meletakkan dile jojor di setiap sudut rumah.
Junaidi, menambahkan alasan dinyalakan dile jojor adalah sebagai penerang orang dulu yang akan mengantarkan zakat fitrah, maklum dahulu tidak seperti sekarang yang banyak diterangi oleh listrik.
“Kenapa orang dulu menyalakan dile jojor, sebagai penerang jalan orang yang akan pergi mengantarkan zakat fitrah, dulu kalau belum dinyalakan dile jojor ndak ada yang mau pergi ngantar zakat fitrahnya,” katanya. (her)