Perhotelan Butuh Kebijakan Strategis Pemerintah

0
Yono Sulistyo

Mataram (Suara NTB) – Pandemi coronavirus disease (Covid-19) yang berlangsung sejak Maret 2020 memberikan dampak signifikan bagi sektor pariwisata, termasuk di bidang perhotelan di Kota Mataram. Asosiasi Hotel Mataram (AHM) mencatat sampai dengan Februari 2021 masih di bawah 30 persen.

Ketua Asosiasi Hotel Mataram, Yono Sulistyo, menerangkan persentase tersebut diambil dengan asumsi seluruh hotel yang ada di Kota Mataram membuka usaha. “Memang ada 11 hotel yang dipakai untuk isolasi mandiri PT Amman dan beberapa hotel lainnya yang punya okupansi di atas 50 persen, tapi itu tidak merata. Kalau semuanya buka, okupansinya hanya bisa mencapai di bawah 30 persen,” ujarnya, Rabu, 24 Februari 2021.

Diterangkan, dalam usaha perhotelan jika tingkat okupansi dapat mencapai 40 persen saja maka biaya operasional dapat ditutupi tanpa untung. Dengan demikian, okupansi di bawah 30 persen yang dimiliki sebagian besar hotel di Kota Mataram membuat pelaku usaha bahkan sulit mengatur pembayaran pegawai.

Untuk itu, pihaknya berharap beberapa kebijakan pemerintah untuk relaksasi usaha yang pernah dilakukan di 2020 dapat dilanjutkan kembali di 2021. Antara lain relaksasi pajak pembangunan satu  (BP1) selama lima bulan sejak April 2020, pajak bumi bangunan (PBB) hingga 75 persen, pengurangan biaya listrik dan air, serta penyaluran dana hibah pariwisata.

“Kalau dilihat dari okupansi hotel di Kota Mataram sampai sekarang memang belum menggembirakan, kita masih terdampak Covid-19. Kalau kami boleh punya harapan, apabila ada kebijakan dari pemerintah untuk membantu industri, program relaksasi yang sudah bagus untuk industri di 2020 kemarin sekiranya bisa diagendakan lagi untuk 2021 ini. Karena semuanya itu betul-betul membantu industri hospitaliti seperti kami bertahan,” jelas Yono.

Terpisah, Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Mataram. H. M. Syakirin Hukmi, menerangkan seluruh kebijakan untuk relaksasi pajak belum dapat dilanjutkan di 2021. Hal tersebut mengikuti belum adanya regulasi terbaru dari pimpinan daerah sampai saat ini.

“Itu belum kita bicarakan lagi (untuk relaksasi pajak). Kita lihat nanti perkembangannya bagaimana, dan itu jadi kebijakan kepala daerah,” ujar Syakirin. Dia menyebut kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini tentu melihat kondisi. Terutama dengan adanya  pandemi Covid-19 yang penanganannya menyedot banyak anggaran. “Kita di pemerintah ini juga butuh biaya. Kita harus berhitung juga untuk penyelenggaraan pemerintahan ini. Sementara ada beberapa kebijakan seperti pengalihan anggaran. Dengan aturan-aturan ini, pengaruhnya ke (peniadaan relaksasi pajak) itu,” tandasnya. (bay)