LPA: Dompu Darurat Kekerasan Seksual Anak

0

Dompu (Suara NTB) – Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Dompu, menangani 43 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang Januari-Juli 2020. Cukup dominan yakni pelecehan seksual yang melibatkan orang-orang terdekat korban. Karenanya, wilayah ini dinilai dalam kondisi darurat kekerasan seksual pada anak.

Sekretaris LPA Dompu, M. Zailani kepada wartawan mengungkapkan, data yang tehimpun ini baru sebagian kecil dari banyak kejadian yang muncul setahun terakhir. “43 kasus ini yang bisa kita tangani, diluar lebih jauh dari itu angkanya. Banyak sekali yang tidak sama kalau kita gabungan data dengan dinas (DP3A) atau yang ada dilaporan polisi. Itu semampu yang kami dampingi secara sosial,” terangnya.

Berbicara kasus anak di wilayah ini, menurutnya sudah cukup memperihatinkan atau tak ubahnya fenomena gunung es. Bahkan dianggap darurat karena sebagian besar dari pelaku merupakan orang terdekat korban. Baik itu ayah, saudara kandung, kerabat dan sebagainya.

Untuk itu, pemerintah daerah diharap betul-betul menunjukkan keseriusannya dalam mengentaskan persoalan ini di lapangan. Apakah dengan mengintensifkan sosialisasi, memastikan pelaku mendapat efek jera dan berbagai langkah pencegahan lain. “Bisa dikatakan darurat karena pelakunya inikan bukan orang jauh, justru orang tua, kakak dan adik sendiri juga. Itu pertanyaan kita semua, seperti apa yang harus kita lakukan kedepan, sebab tidak mungkin LPA bekerja sendiri atau pihak dinas,” ujarnya.

Dari 43 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani selama tujuh bulan, M Zailani mengungkapkan, paling tinggi yakni pelecehan seksual yang menjadikan anak sebagai korban. Kemudian disusul kasus penganiayaan dan penyalahgunaan narkoba dan obat-obat terlarang.
Untuk penanganan sendiri ada yang sudah berlanjut sampai pengadilan dan terkadang berhenti penyelidikannya dengan alasan korban mencabut laporan dan seluruh keterangan.

Kondisi tersebut tentu menjadi kendala, namun harapan besarnya yakni polisi tetap berupaya melanjutkan setiap perkara yang muncul sampai nanti hakim menentukan benar dan salahnya. “Prinsipnya kita begini, yang penting memenuhi alat bukti satu saja apalagi diperkuat pernyataan korban saya pikir bisa dilanjutkan. Persoalan bagaimana ujungnya kita serahkan di pengadilan, jadi tidak ada istilah damai,” pungkasnya. (jun)