Koalisi Bersama Petani Tembakau Surati Gubernur dan Bupati

0

Mataram (Suara NTB) – Para petani, pegiat dan pemerhati tembakau membentuk koalisi. Pascamenggelar pertemuan di Kabupaten Lombok Timur, Jumat pekan lalu. Selanjutnya koalisi ini akan mengambil langkah strategis, diantaranya akan menyurati gubernur, dan bupati.

Koalisi ini terdiri dari Hiptal (Himpunan Petani Tembakau Lombok), FSNTB (Fererasi Serikat Nelayan, Tani, Buruh Indonesia), STN (Serikat Tani Nasional), PTI (Pemuda Tani Indonesia), APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia), Tasnima. Gerak NTB (Gerak Rakyat NTB) yang membangun kekuatan baru. Karena melihat ketidakpastian masa depan para petani tembakau, hingga persoalan tata niaga yang dinilai ikut merugikan pemerintah daerah cukup besar.

Sekjen Hiptal yang ditunjuk sebagai Koordinator Koalisi, Samsul Hakim mengatakan, setidaknya ada lima poin yang disepakati dalam pertemuan bersama di Lombok Timur. Lima poin inilah yang diminta kepada daerah agar segera menyikapinya. Poin pertama, pemerintah harus mengambil langkah antisipasi terhadap turun drastisnya rencana pembelian tembakau virginia Lombok oleh perusahaan-perusahan tembakau yang beroperasi dan melakukan pembelian di NTB.

Penurunan permintaan perusahaan ini diyakini akan mengakibatkan surplus produksi. “Karena menaman tembakau ini hak petani, tidak bisa diintervensi. Kalau semangat tanam tinggi, tapi pembelian perusahaan rendah, akibatnya akan surplus. Mau dikemanakan surplus tembakau ini nanti, siapa yang beli,” kata Samsul Hakim kepada Suara NTB, Senin, 7 Juni 2021. Poin kedua, koalisi ini menyorot isu lingkungan karena belum tuntasnya konversi bahan bakar omprongan yang dilakukan pemerintah. padahal, konversi sudah dilakukan sejak 10 tahun terakhir.

Samsul Hakim mengatakan, setiap musim tanam tembakau virginia, setiap musim itu juga dengan mudah dijumpai tumpukan-tumpukan batang kayu yang dibabat untuk pengeringan tembakau. Dari yang dulunya menggunakan minyak tanah. Tingginya penggunaan kayu bakar ini berimplikasi kepada makin parahnya penebangan pohon dan makin tidak seimbangnya alam. Poin ketiga, penggunaan dana DBH-CHT yang dinilai belum berpihak kepada petani.

Besar kecilnya DBH-CHT yang turun ke NTB adalah buah kerja dari para petani yang berpoduksi. Setiap tahun DBH-CHT yang turun ke NTB nilainya ratusan miliar. Akan tetapi kecil porsinya dikembalikan kepada petani tembakau. Poin keempat, pelibatan lembaga pemerhati dalam rangka pengawasan tata niaga tembakau yang keluar dari NTB. Poin ini mendorong agar dibentuk tim untuk mencatat arus keluar tembakau dari pelabuhan.

Selama ini pemerintah dinilai kecolongan. Jumlah tembakau yang dibawa ke luar dari NTB tidak sebanding dengan kuota pembalian perusahaan. Jumlah catatan di pelabuhan dinilai jauh lebih kecil dibanding realitas jumlah tembakau yang dikirim perusahan. Harusnya, menurut Samsul Hakim, berapa jumlah tembakau yang ke luar dari NTB bisa dicatat dengan baik. Karena jumlah ini yang mempengaruhi besar atau tidaknya DBH-CHT yang turun ke NTB.

“Selama ini laporan pembelian 2.000 ton misalnya. Tapi yang dikeluarkan bisa sampai 6.000. Inilah perlunya pelibatan seluruh stakeholder yang melakukan pengawasan dan pencatatan di pelabuhan. Sehingga ril jumlah pembelian yang dilaporkan dengan jumlahnya yang dikirim ke luar. Baik tembakau virginia maupun tembakau rajang. Selain NTB dapat PAD setiap kilogram, jelas DBH-CHT yang NTB terima dari pusat. Sekarang DBH CHT kita terima tak sampai Rp200 miliar, tapi kita daerah penyuplai terbesar bahan baku rokok. Kok malah daerah-daerah lain yang besar dapat DBH-CHT, ini bisa jadi karena tembakau kita yang keluar tidak dicatat, akhirnya tercatat sebagai tembakau hasil produksi daerah lain,” jelas Samsul Hakim.

Poin kelima yang dituntut adalah, belum tuntasnya Perda No. 4 Tahun 2006 tentang pengelolaan dan perlindungan petani tembakau. Tuntuan lainnya yang disorot adalah pemberlakukan yang sama antara tembakau virginia dan tembakau rajang. Dimana proses pengolahan tembakau rajang saat ini masih menggunakan mesin tradisional. Diperlukan teknologi dalam proses industrialisasinya. “Apalagi kita gencar dengan program industrialisasi. Alat-alat proses yang digunakan oleh petani tembakau rajang harus industry dan dibantu. Alat-alat produksinya bisa dipesan di pelaku-pelaku industry di NTB,” jelas Samsul.

Harapan koalisi, pemerintah daerah segera membijaksanai tuntutan yang disampaikan. Mengingat musim tanam tembakau sudah dekat. “Jangan sampai setelah produksi nanti, pemerintah daerah didemo. Karena telat mengambil kebijakan. Belum terlambat. Kalau permintaan ini tidak direspon kepala daerah, bisa-bisa petani demo. Karena itu kita bersurat ke Gubernur, lalu menyusul ke bupati nantinya,” demikian Samsul Hakim. (bul)