Sengketa Lahan KEK Mandalika, JPN Menangkan Tiga Gugatan Perdata Pembayaran Tanah

0

Mataram (Suara NTB) – Jaksa pengacara negara (JPN) Kejati NTB memenangkan tiga perkara gugatan perdata lahan kawasan KEK Mandalika. Yakni perkara tanah dan HPL (Hak Pengelolaan Lahan) No73 seluas 122,32 hektare; HPL No70 seluas 16,88 hektare; dan HPL No88 seluas 60,4 are. Satu perkara berlanjut ke tingkat banding.

Kangkung alias Amaq Bengkok mengajukan perkara perdata dengan PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) sebagai tergugat. “Hakim menyatakan sertifikat HPL sah milik PT ITDC,” ucap Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan, Selasa, 15 Juni 2021. Kangkung mengajukan gugatan tanah miliknya dengan nomor perkara 16/Pdt.G/2021/Pn.Pya. Dia menyebut tanahnya dimasukkan ke dalam sertifikat HPL 1 dan HPL 78 merupakan perbuatan melawan hukum. Sehingga dia meminta hakim menyatakan sertifikat HPL tersebut cacat hukum.

Selain itu juga mengajukan pembayaran ganti rugi moril Rp500 juta dan materiil Rp250 juta. Ditambah meminta ganti pembayaran tanah seluas 15,25 hektare sebesar Rp45,77 miliar. Per are-nya dihargai Rp300 juta. “Dalam pokok perkaranya, gugatan penggugat ditolak untuk seluruhnya,” sebut Dedi. Untuk melawan gugatan itu, kata Dedi, tim JPN mengajukan gugatan balik dalam sidang di Pengadilan Negeri Praya tersebut. Dicantumkan dokumen tanah itu merupakan HPL 73. Hasilnya, majelis hakim mempertimbangkan gugatan rekonvensi itu.

Dalam putusan rekonvensi, majelis hakim menyatakan Kangkung melakukan perbuatan melawan hukum. Kemudian dokumen yang dimiliki Kangkung cacat hukum dan tidak sah. Selanjutnya, menyatakan tanah itu sah dalam pengelolaan PT ITDC. “Sah berdasarkan HPL 73, surat ukur No94/Kuta/2010 seluas 1.223.250 meter persegi,” terangnya.

 

Perkara HPL No70

Dalam perkara lain, perkara sengketa lahan kepemilikan HPL PT ITDC juga dimenangkan jaksa. Yakni perkara No3/Pdt.G/2021/Pn.Pya dengan penggugat Migarse alias Amaq Milate dan Nate alias Amaq Labak. “Yang perkara ini kita juga menang,” kata Dedi.

Migarse dan Nate menggugat tanahnya dimasukkan dalam HPL 22 tanpa izin sehingga menurutnya cacat hukum. Mereka pun meminta pembayaran atas tanah per are-nya Rp300 juta. Rinciannya, tanah sisa milik Migarse seluas 11,3 are dengan harga Rp3,39 miliar. Tanah sisa milik Nate seluas 8,39 are dengan harga Rp2,51 miliar.

Dedi mengatakan, jaksa mengajukan gugatan rekonvensi atau gugatan balik. Majelis hakim kemudian dalam putusannya, menyatakan Migarse dan Nate menguasai tanah secara melawan hukum. Dokumen terkait tanah itu cacat hukum sehingga tidak sah.

Selanjutnya, hakim menyatakan tanah HPL 70 dengan surat ukur No90/KTA/2010 seluas 168.867 meter persegi atau 16,88 hektare sah milik PT ITDC. Para penggugat pun diperintahkan untuk menyerahkan objek sengketa dalam keadaan kosong. “Atas putusan itu, pihak penggugat menyatakan banding. Ya kita akan hadapi,” urai Dedi.

 

Perkara HPL No88

Perkara ketiga, mengenai gugatan yang dilayangkan Abu Bakar alias Gebuh dan Jinalim dengan No95/Pdt.G/2021/PN.Pya. Gebuh menggugat pembayaran lahan seluas 60,4 are di kawasan HPL 88 sebesar Rp18,12 miliar. Serta menuntut ganti rugi moril Rp1 miliar dan materiil Rp500 juta.

“Gugatan itu ditolak hakim,” kata Dedi. Sementara hakim mengabulkan gugatan jaksa yang mengajukan rekonvensi. Amar putusannya yakni Gebuh dan Jinalim secara melawan hukum menguasai tanah tersebut. “Hakim menyatakan sah penguasaan tanah berdasarkan sertifikat HPL No88 atas nama PT ITDC. Mereka melakukan upaya hukum banding. Kita siap menghadapi banding ini lagi sesuai dengan bukti-bukti yang kita miliki,” tandas Dedi. (why)