Potret Warga Miskin KLU : Gubuk Bocor, Terpaksa Berteduh di Tetangga

0

Tanjung (Suara NTB) – Bagi sebagian besar orang, musim hujan adalah berkah. Tapi tidak demikian dengan warga miskin yang tinggal di gubuk reot. Musim hujan seolah petaka lantaran tak bisa lagi berteduh, konon lagi istirahat dan tidur lelap seperti kebanyakan warga.

Pasangan keluarga Suardi alias Sodok (45), serta istri, Subaedah (32) dan ke empat anak yang masih kecil, merasakan betul betapa susahnya tak memiliki tempat tinggal yang layak. Sejak menikah tahun 2014, pasangan keluarga yang sebelumnya telah 3 kali menjanda dan dua kali menduda ini, dengan terpaksa merawat dan membesarkan anak-anak mereka dalam kondisi seadanya.

Sepetak tanah yang mampu dibeli hanya 1 are, tepatnya di bantaran sungai Dusun Bolot Bangket, Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung. Di atas lahan yang dibeli seharga Rp 2 juta inilah, Suardi dan Subaedah mendirikan gubuk. Potongannya hanya sekamar dengan luas 2,5×3 m. Tiang-tiang penyangga, usuk, semuanya dari bambu.

Interiornya tidak usah dibayangkan. Tak ada meja, kursi, lemari pakaian, apalagi sofa. Hanya sebidang dipan yang dilapisi tikar kumal. Di dinding gubuk yang terbuat dari triplek bekas pemberian tetangga, melintang tali nilon. Fungsinya sebagai gantungan pakaian, entah pakaian bersih ataupun pakaian kotor. Tak cukup, masih ada 2 buah bak ember untuk menampung pakaian yang tampak berserakan.

Minggu, 12 Maret 2017, Subaedah kepada Suara NTB dan Ketua komunitas GR 10.000, Asmuni Bimbo, blak-blakan menceritakan kondisi yang dialaminya. Saat itu, ia sedang mengasuk anak-anaknya. Suaminya tengah tidak di rumah karena pergi mencari nafkah, tepatnya menjadi buruh panjat kelapa.

“Rumah ini (gubuk, red) kami buat seadanya. Bahan-bahannya semuanya bekas, seng bekas hasil pemberian tetangga, triplek juga pemberian bekas pakai,” kisahnya.

“Malam hari saat hujan angin, kami semua pindah ke rumah Amaq Haji (tetangga), karena atap rumah bocor. Setelah hujan kami balik lagi membawa anak-anak, separuh jam 1 malam baru kembali. Kami tidak pernah sampai (numpang) menginap, malu, karena banyak anak-anak. Sementara pada siang hari, kami tetap di rumah walaupun kondisinya bocor,” kisahnya lagi.

Kediaman pasangan ini menyendiri, sekitar puluhan meter dari perkampungan warga. Perempuan kelahiran Arjangka, Pringgarata, Lombok Tengah ini kerap mengaku khawatir dan takut, terutama pada malam hari. Walau demikian, ia tetap tabah dan menerima keadaan yang dijalaninya saat ini.

Bagi Subaedah dan Suardi, mereka ibarat “pendatang” di Dusun Bolot Bangket. Sebab sang suami, meski asli Lombok Utara, namun lahir dan besar di Pengembuk, Desa Sokong, Kecamatan Tanjung. Mungkin status asal muasal inilah yang membuat mereka sulit memperoleh program bantuan rumah kumuh.

“Awal menikah kami pindah ke lokasi sekarang. Sampai saat ini kami belum dapat bantuan rumah kumuh, sudah beberapa kali didata dan difoto tapi belum dapat. Untuk membangun rumah, kami tidak mampu karena penghasilan tidak tentu,” akunya.

Dalam situasi serba kekurangan, pasangan ini cukup bijak memenuhi prioritas kebutuhan apa saja yang harus didahulukan. Kilometer listrik dan PDAM sudah dimiliki. Sekadar untuk memenuhi tuntutan penerangan dan air bersih.

Latar belakang terpasangnya fasilitas ini pun cukup menguras pikiran dan tenaga. Untuk kilometer PDAM saja, harus mengeluarkan Rp 1,2 juta (lebih banyak Rp 100 ribu dari ketentuan PDAM). Tak punya uang tunai, rumah tangga ini pun memberanikan diri berhutang di salah satu Bank (BUMN) Syariah.

Dengan angsuran 1 kali per 2 minggu membuat keluarga ini merasa sangat terbantu. Hingga lunas pinjaman pertama, keluarga ini kembali berutang untuk memasang kilometer listrik, sampai utang kali ini pun sudah dilunasi.

“Syukurnya ada Bank Syariah yang mau bantu dan percaya meskipun suami saya tak punya penghasilan tetap,” sambungnya.

Subaedah tak pernah mengenal apa itu subsidi pemerintah. Sebab biaya pemasangan kilometer listrik PLN yang mereka tanggung sama dengan biaya yang orang lain bayarkan.

Bagi Subaedah dan Suardi, kehidupan saat ini akan dijalani dengan sabar sembari berusaha. Asal anak-anak mereka sekolah, kebutuhan sekunder lain tak pernah terlintas untuk dipenuhi.

Dari 4 anak-anak mereka, hanya Fitri Nuraini (9 bulan) yang merupakan anak kandung Subaedah dan Suardi. Tiga orang lainnya, yakni Burju (10 tahun) dan Sandi (7 tahun) adalah anak tiri Suardi, serta Berlin Sugandi (7 tahun) anak tiri Subaedah, sama-sama masih bersekolah di SDN 5 Jenggala.

Sementara, Ketua GR 10.000, Asmuni Bimbo, mengklaim bangunan tempat tinggal keluarga ini sangat layak untuk segera dibantu. Ia berasumsi, seandainya GR memiliki kelebihan donasi dari yang sudah dialokasikan untuk pembangunan RTLH warga, pihaknya akan mengarahkan bantuan ke Suardi dan Subaedah. “Ini masuk sebagai prioritas GR untuk dibantu. Semoga bisa cepat terkumpul donasinya,” kata Bimbo.

Khusus di Desa Jenggala, bangunan Suardi nantinya akan menjadi bangunan ke empat yang akan dibantu. Sebelumnya di Desaini, GR 10.000 sudah membantu 3 unit rumah lain bagi warga miskin. Seluruhnya didanai dari donasi para dermawan yang dikumpulkan GR 10.000.

“GR tidak akan mampu membiayai sepenuhnya, sehingga kita berharap pemilik rumah mempersiapkan swadaya untuk proses membangun. Kita juga berharap Pemda KLU lebih peka terhadap persoalan kemanusiaan dengan membantu warga yang rumahnya kumuh ini,” tandasnya. (ari)