Pernikahan Anak Marak, Kesehatan Reproduksi Harus Dimasukan di Kurikulum

0

Mataram (Suara NTB) – Pernikahan anak ibarat gunung es. Kasus ini marak terjadi di tengah masyarakat, terutama di masa pandemi. Lingkungan keluarga harus menjadi madrasah utama bagi anak – anak. Disatu sisi, kesehatan reproduksi harus dimasukan dalam kurikulum di sekolah.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram, Dra. Hj. Dewi Mardiana Ariany menyebutkan, angka remaja hamil di tahun 2020 mencapai 391 kasus. Dengan jumlah yang melahirkan di fasilitas kesehatan mencapai 121 anak. Kasus ini ibarat fenomen gunung es. Artinya, kasus perkawinan anak masih marak terjadi di masyarakat. “Iya, ini fenomena gunung es. Kita tidak bisa memungkiri,” kata Dewi dikonfirmasi, Jumat, 21 Mei 2021.

Berbagai faktor menyebabkan perkawinan anak. Di antaranya, faktor lingkungan, hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga (orangtua) serta lain sebagainya. Timbulnya kasus perkawinan anak tidak bisa dianggap sepele. Masalah ini memiliki konsekuensi terhadap kesehatan reproduksi anak, masalah sosial, kekerasan terhadap perempuan, perceraian dan lainnya. Karena itu, penguatan perlu dilakukan dalam lingkungan keluarga.

Keluarga menjadi madrasah utama bagi anak – anak. Disatu sisi, kesehatan reproduksi harus masuk dalam kurikulum di sekolah. “Kami sudah bersuara supaya kesehatan reproduksi ini masuk dalam kurikulum. Faktnya sampai sekarang ini tidak ada,” ungkapnya.

Kurikulum kesehatan reproduksi ini menurut Dewi sangat penting. Pasalnya, anak bisa mengetahui kapan waktunya siap untuk melahirkan serta dampak ditimbulkan jika menikah di usia anak. Pihaknya sudah membentuk posyandu remaja di lima kelurahan. Tujuannya adalah remaja mengedukasi teman sebayanya tentang bahaya perkawinan anak. Namun, program itu tidak berjalan maksimal. “Sudah kita lakukan di Tanjung Karang. Ini yang coba kita kembangkan lagi,” pungkasnya.

Fenomena meminta rekomendasi di Pengadilan bagi anak telah menikah diakui, menuai kritikan dari aktivis anak dan perempuan. Rekomendasi itu dinilai sebagai bentuk melegalkan pernikahan bagi anak oleh pemerintah. Posisi ini pihaknya serba dilematis. Artinya, anak juga membutuhkan pengakuan dari negara terkait keberadaannya. Misalnya, pencantuman dalam kartu keluarga serta hak sipil untuk memiliki akta kelahiran.

Kata Dewi, remaja hamil di bawah usia 19 tahun tidak diberikan data by name by addres, sehingga kesulitan untuk dilakukan pendampingan. Kendati demikian, pihaknya berusaha melakukan pendampingan bilamana ditemukan kasus di masyarakat. (cem)