Perangi Narkoba, Semua Kekuatan Harus Bergerak

0

Mataram (Suara NTB) – Perkembangan penyalahgunaan narkoba yang semakin mengkhawatirkan diperparah dengan berkembangnya teknologi dan informasi. Termasuk, berkembangnya narkotika-narkotika jenis baru. Kemajuan teknologi juga berdampak pada peredaran narkoba sebagai bisnis menguntungkan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi jaringan internet. Bahkan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mencatat bahwa saat ini terdapat ratusan situs daring yang menjual dan mengedarkan narkoba.

Oleh karena itu, penanganan penyalahgunaan narkoba harus dilakukan secara masif dan bersatu padu dalam suatu gerakan bersama instansi terkait baik pemerintah, TNI/Polri, swasta dan seluruh komponen masyarakat lainnya. Sehingga, Program Pencegahan, Pemberantasan, dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) berhasil.

Kepala Bakesbangpoldagri NTB, Ir. H. Muhammad Rum, MT, menegaskan pentingnya semua kekuatan bersama menyatukan langkah memerangi narkoba. Menurutnya, mustahil mengalahkan bandar narkoba yang bekerja sangat rapi. Untuk itu, dia mengajak semua pihak bergandengan tangan memperbaiki manajemen memerangi peredaran gelap narkoba di NTB.

‘’Jadi memang kalau bicara pencegahan pemberantasan narkoba atau P4GN ini memang harus dalam bentuk gerakan, tidak bisa sendirian BNNP, Polda, Kesbangpoldagari tidak cukup untuk itu. Harus melakukan gerakan yang sama. Karena kalau kita melihat suplay narkoba ini kan sangat rapi dan kami yakini apapun yang di-manage dengan baik dan rapi apapun itu hal yang tidak benar pun hasilnya akan jadi baik,’’ jelasnya.

Saat ini, kata Rum, Bakesbangpoldagri NTB memiliki program unggulan Desa Bersinar (Bersih dari Narkoba). Pada 2019 lalu terdapat 10 desa dan kelurahan yang ditetapkan sebagai Desa Bersinar berdasarkan SK Gubernur NTB. Selanjutnya, pada 2020 ini, dari 10 Desa Bersinar tersebut, pihaknya telah memetakan dua desa yang merupakan wilayah merah yang akan digarap serius. Masing-masing desa ada di Kabupaten Bima dan Sumbawa.

‘’Kami coba masuk yang merah ini setelah kami konsultasi dengan Kesbangpoldagri seperti Buer dan Tonda di Bima termasuk yang akan kita keroyok sama-sama. Kita fokus di Bima, menekan di Bima. Kalau Bima sudah bisa kita tekan, mau promosikan di mana pun mereka tidak akan laku. Tidak akan laku barang itu, mereka minggat dan akan pergi  ke pasar lain,’’ jelasnya.

Pihaknya ingin memastikan semua warga NTB sadar bahwa narkoba itu sesuatu hal yang berbahaya dan mematikan. Tentunya pengenalannya tidak hanya di tingkat SMA, tapi juga jenjang SD. Pihaknya pun setuju jika ada tes bebas narkoba pada saat masuk sekolah, untuk memperoleh KTP, SIM, termasuk tes bebas narkoba saat mengikuti tes CPNS.

‘’Harus ada gerakan yang sama di semua level, cuma bagaimana misalnya kalau pas sekolah perlu ada tes, ada tes CPNS, atau bahkan untuk mendapatkan KTP SIM perlu tes narkoba. Dengan cara itu kita sudah melakukan kontrol di masyarakat. Inilah yang kami coba gerakan-gerakan seperti ini bagaimana caranya. Dalam alam bawah sadar, kita tahu bahwa narkoba itu haram. Lalu bagaimana caranya agar anak-anak bahwa narkoba itu sesuatu hal yang haram,’’ lanjut Rum.

Penanganan narkoba membutuhkan ketelatenan berbeda. Hal demikian mengingat kejahatan narkoba berbeda dari lainnya. Jika kejahatan lainnya bisa terdeteksi dari sisi fisiknya, namun narkoba seperti barang gaib. Tidak jelas antara pengguna dan yang tidak menggunakan.

‘’Ketika bicara narkoba sangat susah kita karena agak gaib, ketahuannya setelah ada screening baru kita kaget. Berbeda dengan terorisme. Ternyata luar biasa memakan korban. Kontrol terhadap anak harus ada kontrol, jangan ada pembiaran ketika anaknya tidak pulang ke rumah,’’  Rum mengingatkan.

Libatkan Perempuan

Kepala Dinas Sosial NTB, Dra. T. Wismaningsih Drajadiah, mengakui, ada dua masalah sosial yang sulit tertangani pihaknya selama ini. Yakni masalah prostitusi dan narkoba.

Berdasarkan analisis Dinas Sosial, hal mendasar yang menjadi masalah utama para korban narkoba dan prostitusi ialah mereka kehilangan bahkan tidak mengetahui identitas diri mereka.

Identitas diri itu kata Wismaningsih, bukan saat mereka terkena narkoba, melainkan identitas diri pada suatu agama tertentu atau pada budaya tertentu.

“Misalnya identitas saya Sasak. Maka identitas sebagai orang Sasak itu harus berlaku pada diri saya. Nah inilah yang kami temukan kehilangan identitas diri pada korban narkoba. Kemudian identitas agama tadi bahwa kurangnya ajaran agama yang diberikan pada anak-anak kita temukan juga. Jadi mereka tahu sudah ada banyak sosialisasi, tapi karena tidak tahu identitas diri yang punya pedoman beragama, akibatnya di dalam  lingkungan tempat dia bekerja, ketika dia tidak tahu norma-norma agama inilah yang membuat sering terjerumus pada narkoba,’’ beber Wismaningsih.

Kepada BNNP dan semua pihak yang turut ambil bagian perang terhadap narkoba, Wismaningsih menyarankan agar senantiasa melibatkan ibu-ibu dan perempuan atau organisasi keperempuanan dalam mensosialisasikan bahaya narkoba. Hal itu diutarakannya mengingat perempuan merupakan sekolah pertama bagi anak-anak.

‘’Kami juga bisa berharap dengan PKK, ibu-ibu ini kan harus mempersiapkan anak-anak ini ke depan karena ibu-ibu sekarang ini malah sibuk pegang HP. Anak-anaknya belum pulang masih sibuk pegang HP. Nah ini kenyataan yang kita temukan. Ada yang kita temukan di Lobar ibunya aktif sekali di media sosial, tapi gizi anaknya tidak terurus. Jadi BNN juga bisa merangkul PKK karena efektif, penguatan pada ibu-ibu,’’ tegas mantan Kepala DP3AP2KB NTB ini.

Ancaman di Tiga Gili

Sementara itu, Sri Rohayati, A.Pt., dari BNNP NTB mengklaim telah melakukan banyak screening dan intervensi lapangan. Upaya itu dilakukan di sekolah, pemukiman padat penduduk, di taman-taman dan titik-titik yang memungkin pihaknya menemukan penyalahguna narkoba.

Pada 2019 lalu, pihaknya sudah melakukan hampir 800 kali screening pada 800 orang. Dimana, sekitar 120 orang diketahui berisiko menyalahgunakan narkoba dan harus mendapatkan intervensi. Akan tetapi dari 126 orang yang prospektif tersebut, hanya 68 orang yang berhasil dirujuk.

Di luar itu, Sri Rohayati mengungkapkan sejumlah kendala yang dihadapi di lapangan. Misalnya respons kurang baik sepeti yang terjadi di Gili Trawangan. Pihaknya sudah melakukan screening dan intervensi di tiga gili dan banyak ditemukan. Namun, tidak berhasil dilakukan rujukan. Kendalanya,  karena sering kehilangan kontak. Terlebih, keluarga juga ogah-ogahan dan terkesan tidak mendukung. Bahkan, Pukesmas Pembantu di tiga gili memiliki kekhawatiran akan mengalami intimidasi karena melakukan pendekatan terhadap keluarga penyalahguna narkoba.

“Di Gili Trawangan pernah Puskesmas dilempar karena dianggap sebagai pemberi informasi pada BNN. Padahal kami di situ lakukan dorongan agar Puskesmas Pembantu sebagai pusat layanan rehabilitasi. Jadi yang kami temukan di tiga gili yaitu absennya promosi layanan kesehatan,’’ ujarnya.

Kendala lain, sebut Sri Rohayati, ialah minimnya kapasitas rawat inap rehabilitasi di RSJ. Saat ini, kapasitas rawat inap di RSJ hanya ada 15 ranjang. Jumlah itu tidak cukup untuk menampung penderita yang perlu direhabilitasi.

“Sehingga dalam kesempatan ini mudahan kapasitas bed bisa ditambah jadi 40 bed dan kami juga akan bersurat. Kami berharap karena daftar antrean panjang,” ungkapnya.

Jika merujuk lembaga rehabilitasi di luar NTB, maka keluarga korban memerlukan biaya transportasi yang tidak ditanggung oleh BNN melainkan oleh keluarga. Padahal, sebagian besar keluarga penyalahguna narkoba ini dari kalangan tidak mampu. “Mereka susah mengakses layanan rehabilitasi. Di RSJ daya tampungnya terbatas,” tuturnya.

Selain itu, pihaknya pun meminta agar pemerintah provinsi mengeluarkan surat edaran agar siswa yang terindikasi melalui screening dapat tetap melanjutkan pendidikan.

“Kami sampaikan juga pada Gubernur NTB permohonan agar diterbitkan surat edaran agar anak-anak sekolah yang tersaring penyalahguna tetap diberikan haknya untuk menempuh sekolah karena sesuai dengan UU perlindungan anak dan juga bahwa tidak menyelesaikan masalah anak-anak yang terkena baik coba-coba dan teratur pakai dengan cara dipecat,’’

Karena jika dipecat maka semakin dia memakai. ‘’Cara kita ialah merangkul mereka. Jika upaya yang kita lakukan tidak bisa mengubah perilakunya bahkan bisa mempengaruhi teman yang lain baru kita lakukan tindakan yang lain,’’ pungkasnya. (dys)