Sisi Lain Hardiknas : Pelajar Menantang Risiko Demi Lancar Sekolah

0

Giri Menang (Suara NTB) – Hari-hari siswa-siswi Desa Perampuan, Kecamatan Labuapi, Lombok Barat (Lobar) masih diwarnai tantangan. Mereka harus menyeberang kali dengan lebar sekitar 100 meter untuk sampai lebih cepat ke sekolah. Pembangunan jembatan permanen  masih sekadar harapan. Berikut pantauan Suara NTB.

Kabut menyeruak lembut seperti nasi kukus dari permukaan Sungai Perampuan yang permukaannya masih jernih itu, Rabu, 2 Mei 2018 sekitar pukul 07.00 Wita. Permukaan air yang tadinya tenang mulai beriak setelah perahu ketinting Muammad Ali mulai bergerak.

Empat siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) berdiri berjejer di atas perahu. Hanya sekali kayuh, perahu sampai ke tepian sungai. Perahu itu jadi satu satunya transportasi siswa dari Desa Perampuan untuk menjangkau sekolah mereka di Desa Suka Makmur Kecamatan Labuapi. Rahma merogoh uang kertas Rp 1000 dari kantongnya, diserahkan ke Ali untuk ongkos.

‘’Setiap hari pakai perahu, lebih dekat soalnya,’’ aku Rahma. Sejak kelas I di MI NW Al Muslimah, Rahma pelanggan setia sampai menginjak bangku kelas III. Ia terpaksa melalui jalur sungai agar lebih dekat, meski risiko nyemplung ke sungai kapan saja bisa dialaminya bersama siswi lain.

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang setiap 2 Mei dirayakan, semestinya menunjukkan progress di sektor pendidikan. Tapi potret sulitnya akses, infrastruktur tak memadai, sumber daya guru masih rendah, masih jadi pekerjaan panjang.

Itu juga yang dirasakan Supiani Guru Taman Kanak Kanak (TK) Al Muslimin Kebon Kongok. Ia tinggal di Perumahan Bumi Harapan Permai (BHP) Perampuan. Akses lewat sungai sebenarnya bukan satu- satunya. Karena masih bisa lewat darat, melalui Jalur Bypass Lombok International Airport (LIA) namun jarak tempuh hingga 10 kilometer. Ongkos naik ojek Rp 20.000.

‘’Kalau lewat sungai hanya 10 menit, ongkos Rp 2 ribu bolak balik,’’ ujar Supiani.

Aktivitas mengajar melalui akses sungai itu sejak 2015 lalu. Meski airnya tenang, bukan berarti tanpa bahaya. ‘’Kalau banjir, kami ndak bisa nyebrang,’’ akunya.

Sebenarnya harapan agar dibuatkan jembatan permanen sudah lama disuarakan guru, siswa dan warga setempat. Karena dengan begitu, akses lebih mudah. Tidak ada tantangan yang bisa saja mengganggu perjalanan siswa dan berdampak pada kelanjutan pendidikannya, misal jatuh ke sungai atau saat banjir. Ada saja rasa khawatir, apalagi yang menggunakan jasa perahu itu rata-rata siswi dan anak anak TK. Sehingga ada harapan secepatnya dibangun, tanpa harus berharap dari janji- janji sebelumnya.

‘’Waktu zaman Pak Zaini Arony jadi Bupati (Lobar) sempat ada survei, mau pasang patok. Tapi sekarang ndak tahu kabarnya seperti apa,’’ ujarnya.

Rahmatul Unmah, guru MI NW Al Muslimah juga punya harapan sama, agar Pemkab Lobar segera membangun jembatan permanen. Selain jarak tempuh lebih dekat, biaya lebih murah dan ke sekolah lebih tepat waktu.

Dengan tidak ada akses jembatan, sebenarnya Muhammad Ali paling diuntungkan. Meski hanya mendapat Rp 1000 per penumpang, jika diakumulasi dengan banyaknya siswa dan warga yang menyeberang, ia bisa mendapat penghasilan per hari Rp 100.000. ‘’Kalau hari ini sepi, saya cuma dapat Rp 25.000,’’ kata Ali yang usianya mulai sepuh.

Sejak Pasar Perampuan pindah, praktis pedagang dari Desa Suka Makmur tidak melewati sungai. Penghasilannya pun menurun dan mengandalkan pelajar saja. Lebih mengkhawatirkan lagi ketika jembatan dibangun, maka ia terancam kehilangan pekerjaan. Tapi Ali tawakkal, baginya rezeki diatur Allah SWT melalui banyak jalan. (ars)