Tanjung (Suara NTB) – Persoalan lahan milik Pemprov NTB seluas 65 hektare di Gili Trawangan Kabupaten Lombok Utara (KLU) sudah bisa diselesaikan. Meski ada riak-riak yang muncul di lapangan, aset milik Pemprov NTB sudah bisa memberikan kontribusi bagi daerah. Hal ini terlihat setelah dilakukan penandatanganan kesepakatan/kerjasama pemanfaatan tanah antara Pemprov NTB dengan warga yang tinggal di lahan milik Pemprov NTB ini di Gili Trawangan, Selasa, 11 Januari 2022.
Hadir pada penandatanganan ini Gubernur NTB Dr. H. Zulkieflimansyah, S.E., M.Sc., Danlanal Mataram Kolonel Laut (P) Djawara Heny Twies Whimbo, Bupati KLU H. Djohan Sjamsu, S.H., pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkup Pemprov NTB dan KLU, serta masyarakat Gili Trawangan.
Pada kesempatan ini, gubernur mengingatkan kepada aparatur pemerintah dalam menetapkan aturan atau regulasi tidak boleh menyengsarakan masyarakat atau membebani masyarakat. Jika ada item-item yang beredar dan belum tersosialisasi, gubernur meminta jajarannya lebih intensif melakukan sosialisasi. Namun, terkait adanya keluhan masyarakat yang harus membayar dalam jumlah besar dan memberatkan, gubernur menegaskan tidak ada.
‘’Oleh karena itu, kan mereka kalau menerima suruhan untuk membayar sampai tak masuk akal, pasti melawan. Untuk itu, ada yang harus membayar 50 ribu sebulan. Kalau ada yang tidak mampu, diperbolehkan dicicil,’’ ujarnya.
Tidak hanya itu, tambahnya, pemerintah dalam mencari duit diharapkan dengan cara lebih elegan. Dalam hal ini, ujarnya, aparatur di bawah ditekankan mencari pendapatan dengan cara-cara kreatif dan tidak membuat masyarakat menderita, supaya masyarakat nyaman. ‘’Tapi nyaman sekarang, supaya tidak melanggar aturan. Jangan sampai ada yang jadi ATM diperas kiri kanan, ini yang tidak boleh,’’ ujarnya mengingatkan.
Terkait rencana pengembangan kawasan Gili Trawangan setelah aset milik daerah sudah bisa dikembalikan, gubernur menegaskan, jika saat ini Pemprov NTB masih melakukan penataan. Menurutnya, jika nanti wisatawan banyak datang berkunjung, dengan sendirinya akan banyak ide-ide baru. Sekarang ini yang paling penting adalah tidak ada keresahan di masyarakat, karena tidak nyaman. Selain itu, tidak ada kepastian dan susah orang untuk datang berinvestasi. ‘’Kalau sampai ada yang ingin memperkeruh suasana, ini tidak boleh. Karena sekarang ini banyak event-event besar yang kita laksanakan di NTB,’’ tambahnya.
Sementara Ketua Satgas Optimalisasi Aset Pemprov NTB, H. Ahsanul Khalik, menegaskan, persoalan Gili Trawangan sudah ada kebijakan atau kebaikan yang dilakukan bersama. Terhadap adanya persoalan terkait keinginan masyarakat, khususnya bisa memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan yang disewa tentu akan terus dilakukan pendalaman, komunikasi, koordinasi, sehingga tercapai titik temu yang sama. Namun, kebijakan yang diambil tidak menyalahi aturan yang sudah ada, seperti perda, permendagri dan peraturan lainnya. Semua ini, tambahnya, harus dipahami oleh masyarakat yang mendiami lahan milik pemerintah.
Meski demikian, tegas Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB ini, lahan seluas 65 hektare tersebut, Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dipegang oleh Pemprov NTB dan bukti fisiknya ada. Tidak hanya itu, masyarakat juga sudah memahami ketika komunikasi, koordinasi dengan kita. ‘’Kalau di tengah perjalanan, ada yang meminta SHM silakan. Tidak ada larangan juga. Tapi alas hak yang dimiliki, harus jelas juga dong. Jangan karena kepentingan segelintir orang mempertahankan bisnis pribadi, lalu mengajak masyarakat yang lain, sehingga merugikan banyak orang,’’ terangnya.
Yang pasti, ujarnya, Pemprov NTB ingin masyarakat Gili Trawangan menjadikan tanah Gili trawangan sebagai aset untuk kesejahteraan mereka. Adanya edaran terkait nominal yang harus dibayar oleh warga yang menempati lahan hingga ratusan juta, Akhsanul Khalik menegaskan, pengusaha harus membayar. Sementara masyarakat biasa yang tidak mampu hanya membayar Rp50 ribu satu bulan.
Mengenai jumlah biaya yang harus dibayar, tambahnya, ada klasifikasinya. Ada pengusaha dan masyarakat biasa. Kalau pengusaha dilihat dari jenis usahanya apa. Nanti ditentukan besaran biaya sewa yang dikenakan. Bahkan, besaran biaya yang dikenakan itu, masih ada negosiasi dan komunikasi dengan tim yang ada di lapangan sampai terjadinya penandatanganan.
‘’Orang di sini, kalau menguasai 1 are saja, dalam satu tahun bisa membeli mobil baru. Tapi kita tidak melihat itu, gubernur mengatakan kondisi hari ini beda dengan hari-hari yang lalu, makanya kenakan mereka dengan yang terendah. Dan yang terendah itu adalah Rp25.000 meter persegi per tahun. Tapi ada masyarakat yang jadi pemulung, hanya Rp50.000 satu bulan, karena hanya dijadikan tempat tinggal. Apanya yang berat?’’ tanyanya.
Gubernur belum menetapkan berapa standar PAD yang bisa diperoleh dari disewakannya lahan milik Pemprov di Gili Trawangan ini. Yang pasti perintah aturan ada kontribusi kepada masyarakat. Dan kontribusi ini akan kembali pada masyarakat. ‘’Dan ini skemanya, kita serahkan sepenuhnya pada Bappenda. Tidak diatur oleh Satgas,’’ terangnya.
Hal senada disampaikan Kepala Badan Pengelolaan Aset dan Keuangan (BPKAD) NTB Drs. Samsul Rizal, M.M. Pihaknya menetapkan biaya sesuai dengan hasil usaha dan luas lahan yang disewa oleh warga dan pengusaha. ‘’Yang jelas, semua apa yang kita lakukan ini sudah diawasi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)’’ jawabnya pendek.
Sementara sejumlah warga menyambut baik kebijakan Pemprov NTB yang memberikan kepastian yang jelas terhadap lahan yang didiami selama ini di Gili Trawangan. Seperti disampaikan Halimah, salah satu warga yang menempati lahan milik Pemprov NTB menilai kebijakan pemerintah ini sudah cukup baik. Atas nama warga, pihaknya juga berterima kasih pada Gubernur NTB yang telah menyepakati dan menandatangani pemanfaatan lahan, sehingga ke depan Gili Trawangan bisa lebih baik lagi di masa mendatang. (ham)