Pelanggar Protokol Covid-19 Bisa Dipenjara

0

Mataram (Suara NTB) – Pemprov NTB sedang menyusun Rancangan Peraturan Gubernur Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Covid-19. Dalam Raperda ini akan mengatur tentang pemberian sanksi kepada masyarakat dan pengelola tempat usaha yang melanggar protokol Covid-19.

Bagi masyarakat yang melanggar protokol corona, maka akan terancam hukuman penjara selama enam bulan dan atau denda sebesar Rp50 juta.

“Kita buat Raperda supaya masyarakat tertib dan patuh protokol kesehatan Covid-19. Kalau melanggar maka sanksinya  enam bulan kurungan. Kalau denda Rp50 juta. Supaya ini bisa memberikan efek jera,” kata Kepala Biro Hukum Setda NTB, H. Ruslan Abdul Gani, SH, MH dikonfirmasi Suara NTB, Senin, 13 Juli 2020.

Ruslan menjelaskan Pemprov menyusun Raperda agar dapat dilakukan pembebanan sanksi bagi yang melanggar protokol Covid-19. Karena, jika sebatas Peraturan Gubernur (Pergub) maka tak bisa dilakukan pembebanan sanksi.

“Dalam Raperda itu kita menetapkan larangan-larangan. Ada kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Jika dilanggar maka ada sanksinya,” jelas Ruslan.

Penyusunan Raperda tersebut mengacu pada UU No.8 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Dalam pemberian sanksi, kata Ruslan, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan izin usaha hingga sanksi kurungan penjara dan denda.

Ruslan mengatakan pembahasan Raperda ini menjadi prioritas di Program Legislasi Daerah (Prolegda) NTB. Rencananya, setelah ada surat dari gubernur akan langsung diajukan ke DPRD NTB untuk dibahas. Di Indonesia, kata Ruslan, kemungkinan NTB yang baru pertama kali menginisiasi pembentukan Perda seperti ini. Karena provinsi lain, baru sebatas Pergub.

Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dikes) NTB , dr. Nurhandini Eka Dewi, Sp.A, MPH menerangkan penyusunan Raperda tersebut ditujukan untuk memastikan kepatuhan masyarkat menerapkan protokol kesehatan.

“Kalau tidak pakai perda, tidak bisa kita berikan saknsi (bagi yang melanggar),” ujarnya, Senin, 13 Juli 2020.

Menurutnya, sampai saat ini angka positif corona di NTB terus meningkat. Berbanding terbalik, kepatuhan masyarakat terpantau terus menurun. Untuk itu pemda ingin memastikan peran serta masyarakat melalui Perda sebagai landasan aturan yang mengikat.

“Target kita sebetulnya menjadikan masyarakat patuh pada protokol, karena ada sanksi di belakangnya. Dari pengalaman turun (pemantauan lapangan) 1-2 minggu ini, orang-orang yang tidak patuh itu adalah orang yang sama,” jelas Eka.

Diterangkan, dalam penanganan wabah Corona ada dua protokol yang harus diperhatikan secara kolektif. Antara lain protokol untuk melindungi diri sendiri dengan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, serta protokol untuk melindungi masyarakat dengan tindakan-tindakan preventif, deteksi, dan responsif.

“Preventif itu dengan disinfeksi dan sosialisasi, deteksi dilakukan dengan melihat dan memisahkan orang-orang risiko tinggi seperti yang punya komorbid, karena mereka yang rentan tertular. Respon ini orang harus patuh, salah satunya untuk tracing kontak,” ujar Eka.

Menurutnya, saat ini sebagian besar masyarakat hanya memperhatikan protokol kesehatan individu dan menyampingkan protokol kesehatan masyarakat yang lebih luas. Dicontohkan seperti penolakan masyarakat yang masih sering ditemui dalam proses tracing kontak yang dilakukan pemerintah.

“Ini tidak semua orang patuh. Ada yang menghindar. Padahal tracing kontak ini penting dilakuakn untuk mengetahui kita memutus mata rantainya sampai mana,” tegas Eka. Ditekankan, seluruh upaya tersebut merupakan cara pemerintah melindungi masyarakat yang lebih luas.

Di sisi lain, proyeksi puncak kasus pandemi Covid-19 diakui cukup bergeser. Di mana akademisi dan Gugus Tugas Covid-19 NTB sebelumnya memprediksi puncak kasus terjadi pada Juni lalu. Namun peningkatan signifikan justru tercatat di pertengahan Juni dan belum melandai.

Berdasarkan perhitungan dari Fakultas Kedokteran Univeristas Mataram, Eka menerangkan tanpa kepatuhan terhadap protokol Covid-19 puncak pandemi justru diprediksi baru terjadi pada Agustus – Desember mendatang. Jumlah pasien sendiri diprediksi mencapai 200.000 orang.

“Ada ledakan (kasus) di tengah Juli dua kali. Jadi setiap proses itu dia punya konsekuensi muncul 2-4 minggu setelahnya. Pelonggaran saat lebaran bulan Mei, beru terlihat di Juni. Angka yang bulan Juni itu dampak dari orang-orang melonggarkan kegiatan pada awal Mei,” tandas Eka. (nas/bay)