Papuq Naritep yang Buta, Dirawat Sang Cucu Sampai Mengorbankan Sekolah

0

Giri Menang (Suara NTB) – Di pagi yang beranjak siang, sepasang tangan keriput diayunkan beraktivitas. Kanannya memegang parang compang, dan kirinya menahan sepotong kayu. Tok tok tok, bunyi parang yang beradu dengan sebatang kayu. Sebentar kemudian, kayu itu pun patah.

Ya, memotong ranting kayu untuk kayu bakar adalah salah satu aktivitas rutin, Papuq (Nenek) Naritep di usia senjanya (60 tahun). Ranting-ranting kayu yang tidak lagi kering karena itu dipungut oleh sang cucu yang tinggal bersamanya, Lira Aprianti (13 tahun). Sampai kayu basah itu bisa digunakan untuk memasak, diangin-anginkan dulu hingga kering.

Kedua kelopak mata Papuq Naritep menututp rapat, dengan bola mata yang tak terlihat. Melihat objek, ia hanya bisa melihat samar-samar. Fisiknya pun sudah rapuh. Punggungnya bungkuk, dan jalannya dituntun oleh sang cucu. Kebutaan yang dialami Papuq Naritep ia alami sejak 17 tahun lalu, ketika cucu pertamanya, Didik Alfian, lahir.

Saat Suara NTB tandang ke kediamannya, Minggu, 25 Februari 2018, secara kebetulan, anak satu-satunya, Linda, menyempatkan diri menjenguk ibunya. Linda tercatat sudah 2 kali menikah. Suami keduanya saat ini, bernama Bakarudin, berasal dari Dusun Sejongga, Desa Pendua, Kecamatan Kayangan. Hanya saja, keterbatasan ekonomi membuat Bakarudin harus merantau ke Kalimantan, sekitar 5 bulan.

“Kadang 2 bulan sekali saya kemari kirimkan beras barang 25 kg. Kalau untuk lauk, seadanya. Apa saja dedaunan di sekitar sini yang bisa dimakan, dimasak untuk lauk,” kata Linda.

Bisa dibayangkan, betapa miris kehidupan Nenek – cucu ini selama bermukim di Dusun Busur. Sebagai anak yang masih ingusan, daya Lira merawat neneknya seadanya saja. Ia sudah tinggal bersama neneknya sejak kecil. Ketika ibunya menjanda, lalu merantau menjadi buruh migran ke Arab Saudi pun, ia sudah tinggal bersama neneknya. Kini, Lira tercatat sebagai siswa kelas I Tsanawiyah di MTs NW Jelitong.

Hidup dengan segala keterbatasan ekonomi dan jauh dari ayah kandung, membuat Lira patah semangat. Ia seolah tak mampu lagi sehari-harinya menempuh perjalanan 2 km (PP 4 Km) dari tempat tinggal ke tempat sekolah. Akhirnya ia pun memutuskan berhenti alias Drop Out (DO).

Lira tak memberi jawaban saat ditanya mengapa memutuskan berhenti sekolah. Oleh ibunya, Linda, Lira diklaim pernah sakit 2 minggu sebelum DO. “Saat masuk sekolah seragam kami beli sendiri, karena sejak SD anak saya tidak pernah dapat sumbangan. Dana PKH diambilkan oleh ibu tirinya,” kesah Linda.

Perihal bantuan BOS dan PKH itu, tidak pernah sampai di tangan Lira. Itu diakui oleh Linda dan tetangga Papuq Naritep, Nurhayati. Hal itu dikuatkan pula keterangan salah satu petugas PKH Kecamatan Gangga. “Untuk kebutuhan belanja kadang Lira memburuh jadi tukang cuci di tetangga. Pernah beberapa kali dia menangis, kebingungan tidak ada uang untuk membeli buku,” dikuatkan Nurhayati.

Kebutuhan Papuq Nuritep dan Lira bukan tidak dibantu oleh anaknya. Namun karena berstatus istri Bakarudin, sang anak pun hanya mampu menyisihkan uang belanja sebesar Rp 200 ribu sebulan. Minimnya perhatian dari orang tua membuat Lira dan sang kakak, Didik Alfian (17 tahun) DO sejak SD. Bahkan sang kakak, lebih parah lagi, DO tanpa memiliki ijazah SD.

Menengok sekilas kondisi tempat tinggal Papuk Naritep, tidak kalah miris. Lahan yang ditempatinya saat ini adalah aset satu-satunya yang dibeli dari hasil Linda sebagai TKW. Karena kasihan, seorang pemilik tanah, Amaq Saudi, bersedia memecah 2 are dan diperjualkan kepada Linda dan keluarganya.

Rumah yang ditempati beratap asbes, berdinding bambu dan berlantai semen. Lantai semen itu sudah retak-retak. Dari ukuran 3 x 4 meter, rumah itu dibagi 2 kamar. Sedangkan luarnya dibuat emperan, yang dibagi lagi. Sebelah berdiri dipan reot sebagai tempat duduk, dan sebelahnya lagi untuk dapur. Rumah ini sangat layak “divonis” sebagai rumah tidak layak huni (RTLH). Namun sayang, sejak hidup menumpang dan tinggal di tempatnya saat ini 5 tahun lalu, Papuq Naritep tidak pernah tersentuh program bantuan RTLH. Disurveipun tidak. Karena bagi warga Dusun Busur, program RTLH yang masuk hanya bantuan rehab sebesar Rp 5 juta. Itu pun mengarah hanya kepada 5 orang saja se Dusun Busur di tahun 2015.

“Asalkan dapat makan sekali sehari, bagi kami sudah cukup. (Dari bantuan pemerintah) Inaq hanya dapat raskin 5 kilo yang ditebus seharga Rp 2.500,00 per kg. Kupon pasar murah tetap dapat tapi tidak pernah mampu beli,” terang Nurhayati.
Beli raskin 5 kilo @ Rp 2.500,00 per kg.

Sekarang, kondisi malam hari di rumah Papuk Naritep gelap gulita. Pasalnya, kabel listrik yang nyantel gratis dari rumah Nurhayati, mati sejak 3 bulan lalu. Linda tak mampu membelikan kabel sepanjang 60 meter untuk ibunya. Alternatif lain, ia sudah mencari minyak tanah ke warung-warung, tetapi nihil. Sekali waktu, pada malam hari, sebutir kelapa muda jatuh dan menjebol atap rumahnya. Kelapa itu pun mengenai kepala Papuq Naritep hingga bocor dan mengeluarkan darah.

“Sebagai tetangga saya sangat berharap Inaq Naritep dibantu WC. Karena kebutaan, seringkali Inaq kami jemput di kebun orang. Mau buang hajat mesti ke kebun, tidak jarang sampai nyasar karena tak bisa melihat,” demikian Nurhayati. (ari)