Kasdiyono Serukan Ketua KONI Kabupaten/Kota Patuhi Aturan

0
MNS. Kasdiyono (Suara NTB/dok)

Mataram (Suara NTB) – Mantan Ketua KONI Provinsi NTB, H. MNS. Kasdiyono angkat bicara terkait masih banyaknya pejabat publik dari mulai bupati, wakil wali kota, pimpinan dan anggota DPRD di beberapa wilayah di NTB, masih aktif merangkap jabatan selaku Ketua KONI.

Menurutnya, UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, telah final melarang bagi siapapun pejabat publik memegang pimpinan KONI di wilayah mereka masing-masing.

Sehingga, tidak ada alasan bagi siapapun tidak patuh pada aturan yang sudah digariskan tersebut. ‘’Saya sendiri pada tahun 2015 lalu, telah mencoba memberikan contoh dengan mundur saat mengemban amanah sebagi Ketua KONI NTB periode kedua. Ini saya lakukan karena patuh pada aturan. Apalagi saat itu saya terpilih sebagai anggota DPRD NTB,’’ ujar Kasdiyono saat dikonfirmasi, Selasa (24/9) kemarin.

Politisi Demokrat yang kini kembali aktif sebagai pengusaha itu menyayangkan, masih banyaknya para pejabat publik di kabupaten/kota di NTB yang kini masih aktif memegang jabatan sebagai Ketua KONI. Padahal, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) telah dua kali melayangkan surat permakluman yang berisi pelarangan untuk para pejabat publik agar melepaskan jabatannya mereka selalu Ketua KONI.

Aturan SE Mendagri itu, yakni SE Nomor 800/2398 tahun 2011, SE nomor 800/148 tanggal 17 Januari 2014 tentang pejabat publik tidak diperkenankan menjabat Ketua KONI. Sehingga, kata Kasdiyono, seandainya Ketua KONI bukan pejabat publik, bukan berarti pembinaan olahraga di daerah akan macet.

‘’Justru menurut UU, malah peran itu banyak dimainkan oleh cabang olahragara (Cabor) dan pejabat publik bisa menjadi Ketua Cabor dan itu diperbolehkan. Makanya Ketua DPRD NTB menjadi Ketua Cabor itu langkah yang tepat dan bisa dijadikan contoh,’’ ujarnya.

Menurut Kasdiyono, jika dikaji dalam UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN), serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, maka peran KONI itu sangat kecil saat ini. Sebab, peran dalam memajukan keolahragaan justru banyak dimiliki oleh Cabor.

‘’Ada ketentuan di sejumlah pasalnya yang menarik untuk didiskusikan. Bahkan kalimatnya pemerintah dapat mengikutsertakan Komite Olahraga, disinilah point utamanya. Bahwasanya, KONI itu harus bersifat mandiri dan tidak lagi bergantung dengan dana APBD,’’ tegasnya.

Terkait sanksi pada pejabat publik yang masih menjabat Ketua KONI lantaran dana yang dipergunakan adalah dana hibah yang bersumber dari APBD. Menurut Kasdiyono, dalam aturan telah digariskan, jika anggaran seluruh kegiatan olahraga yang bersumber dari APBD diserahkan sepenuhnya pada Dispora di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Termasuk di Provinsi NTB.

Hal ini, ujar dia, agar Pemda tidak salah langkah serta tidak ada konflik kepentingan saat pengucuran dana tersebut pada masing-masing cabor. ‘’Disinilah, tugas kepala daerah adalah menempatkan Kadis yang benar-benar paham tentang olahraga. Sehingga, jalannya pembinaan dan keberlangsungan atlet dapat berjalan dengan baik melalui wadah Disporanya,” tandas Kasdiono.

Menyinggung adanya dana yang keluar dan sudah dipergunakan oleh pejabat publik sebagai Ketua KONI. Ia menjelaskan, hal itu biarlah nanti aturan UU dan PP yang   mengeleminasininya. Mengingat, ada pasal 40 di UU SKN yang menyebutkan jika dilanggar pun tidak masalah, karena tidak ada sanksinya yang bersifat tegas.

‘’Hanya saja, yang menjadi pertanyaan saya, apakah boleh kita (Pemda) memberikan dana hibah kepada lembaga yang melanggar UU? Saya termasuk pihak paling ngotot menolak pasal 40 ini. Tapi apa boleh buat MK memutuskan jika rangkap jabatan pejabat publik tetap dilarang secara aturan. Sehingga kepatuhan pada aturan untuk taat azas sangat diperlukan oleh siapapun Warga Negara Indonesia,’’ tegasnya. (ndi)