Mataram (Suara NTB) – Seharusnya, dua butir kelapa yang dijajakan Kader (33) direbut pengunjung yang dahaga. Rabu, 3 April 2019 sore itu, matahari semakin tenggelam, jualannya masih utuh. ‘’Sekarang sepi. Ndak ada Batu Payung, tidak ada pengunjung ya ndak ada pembeli,’’ keluh warga Desa Gerupuk ini.
Tak ada yang menyangka suara gemuruh Minggu, 31 Maret 2019 sekitar pukul 21.00 Wita berasal dari reruntuhan Batu Payung. Spekulasi warga, penyebabnya hantaman ombak. Getaran akibat gempa dahsyat Juli dan Agustus 2018 lalu memicu retakan retakan baru selain terus digerus ombak di bagian pasak batu.
Amak Tuyi yang bergegas dari rumahnya di Desa Gerupuk menyusuri pantai, tersentak mendapati batu yang berdiri tegak dengan ketinggian sekitar 19 meter itu terserak di permukaan karang.
Amaq Tuyi termasuk yang terpuruk. Kakek 70 tahun itu bahkan menangis ketika mendapati Batu Payung hanya tersisa bongkahan batu cadas yang tidak berbentuk. Dia sudah 10 tahun jualan kelapa kepada pengunjung, praktis kehilangan sumber penghasilan.
Batu Payung jadi ikon bertahun tahun pariwisata Lombok khususnya Lombok Tengah. Para guide menjadikan Batu Payung sebagai spot pertama yang dijual, satu paket selain memancing dan snorkeling. Objek ini terletak di ujung Bukit Gerupuk yang terhubung langsung dengan bibir pantai.
Pengunjung, baik wisatawan lokal maupun mancanegara selama ini melalui dua akses. Melalui jalur laut dengan menumpang perahu dari Pantai Tanjung Aan. Jalur lainnya di Dusun Pandu dengan melintasi pinggir pantai berbatasan dengan bukit.
Isya Wardhani (26) masih ingat tiga tahun lalu menjadi pemandu tim kreatif sebuah produk rokok. Dua hari dan dua malam, ia diupah Rp3,5 juta, pendapatan terbanyak saat itu. Iklan rokok itu turut mengorbitkan Batu Payung hingga seantero Indonesia, bahkan memantik perhatian wisatawan mancanegara.
Buktinya, penumpang perahu milik Isya, tidak saja wisatawan lokal, tapi juga mancanegara. ‘’Kalau perahu penuh, bisa sampai 12 pengunjung. Sehari bisa sampai bolak balik belasan kali. Saya dapat sampai pernah Rp3 juta,’’ kenangnya.
Sekali trip, per orang antara Rp 200.000 sampai Rp 350.000. Berkelompok dengan sejumlah rekannya, Udin, Nasum, Jaelan, Kapeng. Keuntungan dibagi bagi.
Sejak Batu Payung roboh, jangkar perahunya tak pernah beranjak dari pinggir pantai. Tak ada sumber pendapatan. ‘’Ndak ada penumpang sejak kejadian itu,’’ keluhnya.
Sebenarnya Batu Payung bukan satu satunya spot yang dijual. Ada goa kelelawar dan Bukit Marese dan garis pantai yang tidak kalah indah. Tapi minat utama pengunjung tetap ada Batu Payung. Seperti tak lengkap rasanya tanpa pose di batu yang membentuk jamur itu. ‘’Spot utamanya selalu Batu Payung, ndak minat mereka ke yang lain,’’ akunya.
Robohnya Batu Payung seiring dengan runtuhnya harapan mereka akan pendapatan harian. Satu per satu kawannya pergi dan mencari pekerjaan lain.
Nasib Amaq Pera pun begitu. Ia menarik tarif parkir Rp 10.000 per mobil dan Rp 5000 untuk sepeda motor dari halaman rumahnya. Buah kelapa jadi jualan lain. Setelah Batu Payung berubah mejadi batu runtuh, berangsur angsur halaman rumahnya sepi dari kendaraan. Kelapanya pun utuh tak terjual.
Sementara itu, Pemkab Loteng saat ini tengah berpikir untuk menyusun kembali objek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara tersebut.
‘’Terus terang kita sangat kehilangan dengan runtuhnya objek wisata Batu Payung. Karena bagaimanapun juga ini, objek ini salah satu andalan kita untuk menarik wisatawan datang ke daerah ini,’’ ungkap Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Dispabud) Loteng, H.L. Putria, kepada wartawan, Selasa, 2 April 2019.
Ia menuturkan, kabar runtuhnya ikon destinasi wisata yang sudah ada sejak ribuan tahun tersebut diperoleh dari warga. Di mana pada Minggu malam, warga mendengar suara ombak yang sangat besar. Yang kemudian diikuti dengan suara runtuhan batu.
Keesokan harinya warga kemudian mengecek ke objek wisata tersebut dan menemukan batu payung sudah runtuh. ‘’Untungnya kejadian berlangsung pada dini hari. Sehingga dipastikan tidak akan korban dalam kejadian tersebut,’’ ucapnya.
Putria pun mengaku tidak bisa berbuat apa-apa dengan kejadian tersebut. Karena itu murni kejadian alam. Terlebih kondisi Batu Payung sendiri sudah terlihat paruh. Dimana banyak ditemukan retakan di hampir seluruh bagian batu. Sehingga ketika diterjang ombak besar batu payung pun runtuh.
‘’Yang sedang kita pikirkan sekarang bagaimana menyusun kembali runtuhan Batu Payung. Supaya bisa kembali seperti kondisi semula,’’ sebutnya. Walaupun diakuinya untuk bisa mewujudkan hal itu jelas butuh biaya yang tidak sedikit dan memang berat.
Namun dengan dukungan teknologi yang sekarang ini, pihaknya yakni hal itu bisa dilakukan. ‘’Sekarang sudah ada teknologi yang bisa mendukung rekonstruksi. Bahkan jika diperlukan, kita akan datangkan ahlinya. Agar Batu Payung bisa kembali berdiri kokoh,’’ pungkas Putria. (ars/kir)