Bagaimana Kearifan Lokal Yogyakarta Mempercepat Pemulihan Pascagempa 2006

0
Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY Muhammad Mansyur (paling kanan) bersama Wakil Ketua Komisi V DPRD NTB, H MNS Kasdiono memimpin diskusi Penanganan Pariwisata Yogyakarta Pascagempa 2006, Selasa (27/11/2018) di Kepatihan Gubernur DIY, Yogyakarta. (Suara NTB/why)

Yogyakarta (suarantb.com) – 27 Mei 2006. Sabtu pagi pukul 05.55 WIB. Bagian kerak bumi di bawah Yogyakarta bergolak. Selama 57 detik gempa bumi mengguncang. Tahun 2018 ini 12 tahun berselang. Yogyakarta sudah benar-benar pulih.

Yogyakarta, kota kedua di Indonesia setelah Bali mengenai tingkat kunjungan wisatawan, juga terpuruk pariwisatanya yang terdampak gempa.

“Butuh waktu delapan tahun untuk tingkat kunjungan kembali lagi ke angka yang sama sebelum gempa,” kata Kabid Pengembangan Destinasi Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, Aria Nugrahadi.

Hal itu dibeberkannya saat menerima kunjungan kerja Wakil Ketua Komisi V DPRD NTB H MNS Kasdiono, Selasa, 27 November 2018 lalu, bersama Kabag Pemberitaan Biro Humas dan Protokol Provinsi NTB Lalu Ismu serta anggota Forum Wartawan Parlemen NTB.

Aria mengungkap angka kunjungan wisata ke kota Gudeg pada 1998 bisa sampai 500 ribu orang. Kemudian krisis moneter menghantam Indonesia.

Pada 2006, kunjungan wisata menyentuh 250 ribu orang. Bencana gempa bumi berkat aktifnya Sesar Opak di selatan Kabupaten Bantul lantas menerjang.

Situs bersejarah mulai zaman kolonial Belanda dan berkuasanya Kerajaan Mataram terdampak. Misal Candi Prambanan atau Makam Raja di Imogiri, Bantul.

Tingkat kunjungan wisata baru kembali ke angka 250 ribu lagi pada tahun 2014 alias delapan tahun setelahnya.

“Rehabilitasi dan rekonstruksi berorientasi pada budaya dan kepariwisataan. Situs-situs dibangun kembali sesuai keadaan awalnya,” kata Aria.

Tugas mengembalikan kejayaan pariwisata Jogja juga mengambil manfaat di sisa musibah. Rumah konstruksi tahan gempa dibuat menjadi monumen pengingat, macam rumah dome di Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Atau Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa (Barrataga) di Bantul.

Pemprov DIY, kata Aria, sudah merancang Museum Gempa yang nanti isinya catatan gempa Jogja 2006, berikut pemahaman geologis dan mitigasi bencana yang dikemas dalam konsep destinasi wisata.

“Intinya, bagaimana sensitivitas Pemda dalam menghadapi dan membangun kembali daerah dengan melibatkan masyarakat,” ujarnya.

Elaborasi Terobosan Kebijakan dengan Kearifan Lokal

Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY Muhammad Mansyur menyarankan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB perlu berani mengambil kebijakan.

Keberhasilan Jogja mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, telah diakui dunia. “Karena memang, daerah harus punya kebijakan sendiri untuk penanganan gempa. Itu yang harus dilakukan juga oleh Pemprov NTB,” ucapnya.

Penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa bumi di Provinsi NTB, terjalan sangat lamban. Dibutuhkan gebrakan dari Pemerintah daerah (Pemda) agar bisa terjadi percepatan.

“Jogja ditimpa gempa besar tanggal 27 Mei. Tanggal 30 November, kita sudah berhasil bangun rumah lebih dari 26 ribu,” beber Mansyur.

Atas keberanian Pemprov DIY, masa rehabilitasi dan rekonstruksi hanya berlangsung sekitar 18 bulan saja atau kurang dari dua tahun. Meski jumlah rumah yang rusak sangat banyak dan lebih besar dibandingkan dampak gempa di NTB.

Dalam sehari, hunian tetap (Huntap) untuk korban bencana yang rumahnya rusak berat bisa dibangun 570 unit. Sehingga total rumah untuk korban bencana dibangun mencapai ratusan ribu. “Kalau dihitung, artinya kita mampu bangun 570 unit rumah per hari. Itu karena kebijakan daerah,” tegasnya kembali.

Kebijakan-kebijakan tersebut, diantaranya berani merubah peruntukan dana dari Pemerintah pusat. “Ada bantuan pusat untuk program penurunan kemiskinan. Itu kita rubah, kita alihkan langsung untuk bangun rumah,” terangnya.

Pada dasarnya, telah ada bantuan khusus dari Pemerintah pusat untuk membantu korban bencana memperbaiki rumahnya. Bagi yang rusak berat mendapatkan Rp 15 juta, rusak sedang Rp 5 juta dan rusak ringan Rp 1 juta.

Dengan anggaran sekecil itu, tentu saja tidak akan mampu untuk mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi. Disinilah pentingnya juga peran kearifan budaya lokal. “Walaupun pusat minta harus ini dan itu, kita daerah harus miliki kebijakan sendiri,” kata Mansyur.

Misalnya saja ketika Pemprov DIY membuat panti bagi korban bencana yang mengalami kecacatan. Langkah tersebut penting dilakukan untuk menenangkan para korban dan keluarganya.

Ditegaskan juga, rumah yang dibangun mayoritas sesuai dengan keinginan pemiliknya. “Kita juga kedepankan membangun rumah bagi orang yang miskin dulu. Yang kaya nanti belakangan. Karena rumah itu penting, agar semua aktivitas peruntukan bisa berjalan,” jelasnya.

Hal itu pula yang membuat tidak terlalu bergejolak pasca bencana gempa di Jogja. Para korban dibuat merasa nyaman. Psikolog juga didatangkan untuk menenangkan kelompok masyarakat (Pokmas).

Kepala Biro Umum, Humas dan Protokol Setda Provinsi DIY, Haryanto dalam kesempatan tersebut mengapresiasi langkah kedatangan rombongan dari NTB. Apalagi sebelumnya Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X telah datang ke NTB pada bulan Agustus.

Haryanto menegaskan, salah satu kunci kesuksesan DIY menangani bencana, adalah mengutamakan kearifan lokal. Memperkuat gotong royong dan menjadikan masyarakat berjiwa mandiri.

“Masyarakat punya kearifan tersendiri. Itu yang harus dioptimalkan. Jogja dan NTB itu sama nasibnya, daerah rawan gempa. Tapi kita harus belajar dari Jepang, meski bencana tapi bisa maju,” pesannya.

Rombongan Pemda NTB, juga diterima oleh para pejabat Pemprov setempat. Diantaranya Kepala Biro Umum, pejabat Dinas Pariwisata, serta pengurus DPD Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) Yogyakarta. (why/*)