Butuh Data Valid Agar Intervensi Tepat Sasaran

0

Mataram (Suara NTB) – Terkait dengan pernikahan di usia anak, saat ini belum ada data valid yang mendukung, sehingga intervensi terhadap permasalahan itu dikhawatirkan tidak tepat sasaran. Diperlukan juga pemecahan masalah pernikahan usia anak secara sistematis.

Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi LPA NTB, Joko Jumadi, menyampaikan pernikahan usia anak cenderung terjadi secara turun temurun dari orang tua mereka. Permasalahan lainnya, saat ini belum ada data valid tentang seberapa banyak orang yang menikah pada usia anak.

‘’Data valid kita tidak punya, paling punya data sedikit persalinan usia remaja di Dinas Kesehatan. Itu yang mendekati valid. Tapi data resmi kita tidak punya,’’ kata Joko.

Menurutnya memang tidak ada lembaga yang mendata pernikahan usia anak. Pada Kantor Urusan Agama (KUA) misalnya, yang terdata hanya orang yang menikah di atas usia 16 tahun. Sedangkan LPA, sangat bergantung pada pengaduan, dan itu pun tidak semua kasus bisa ditangani. ‘’Jadi kita tidak punya data itu, sama sekali tidak ada,’’ tegasnya.

Jika tidak memiliki data pernikahan usia anak, Joko menegaskan, ketika akan mengintervensi permasalahan ini dikhawatirkan akan salah intervensi. Dengan begitu, sulit untuk diketahui berbagai program terkait pernikahan usia anak akan tepat sasaran.

Selain itu, ia menyoroti dalam menangani permasalahan pernikahan usia anak, tidak pernah menggunakan pendekatan sistem. Ia mencontohkan pada sosialiasi yang mengundang Ketua OSIS, menurutnya tidak ada Ketua OSIS yang menikah di usia anak. Biasanya, yang menikah di usia anak, merupakan siswa yang tidak terlibat kegiatan sekolah.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sistem dalam penanganan pernikahan usia dini. Sistem yang perlu diperhatikan adalah sistem hukum dan kebijakan. Sistem kesejahteraan sosial, sistem data dan informasi serta sistem perubahan sosial. ‘’Sudah jalan atau belum? Ini yang tidak pernah kita lihat,’’ kata Joko.

Permasalahan pernikahan usia anak harus juga dilihat dari hulu. Seperti pada pencegahan umum dan penanganan anak rentan. Ia menyampaikan, pada pencegahan umum, berbagai pihak hanya sibuk pada sosialisasi. “Itu tidak masuk sistem, kalau mau sistem, pencegahan umum harus masuk ke kurikulum pendidikan, tapi dinas pendidikan cuek-cuek saja,” sesalnya.

Dicontohkannya, ada program wajib belajar 12 tahun, tapi sekolah malah men-Drop Out (DO) atau mengeluarkan anak-anak dari sekolah. “Kita ingin tingkatkan angka partisipasi sekolah, tapi sekolah sibuk men-DO. Dan tidak ada satupun sanksi yang diterapkan. Kalau mau pendekatan sistem masuklah ke kurikulum,’’ sarannya.

Pengasuhan dan Sanksi

Menurut Joko, masalah pengasuhan anak juga merupakan salah satu masalah utama yang perlu menjadi perhatian. Ia mensinyalir, sebagian orang tua tidak pernah belajar pengasuhan anak. Akibatnya, mereka hanya bergantung pada insting dalam pengasuhan anak.

Selain itu pada penanganan anak rentan, sebenarnya bisa diketahui anak yang bermasalah di tingkat desa. Seperti anak yang ditinggal orangtuanya sebagai buruh migran. Anak-anak itulah yang cenderung menjadi korban pernikahan usia anak. ‘’Dan ini hampir 90 persen anak yang bermasalah, itu tidak pernah ada yang menyentuh di sisi itu,’’ katanya.

Pada sisi penanganan, ketika anak sudah menikah atau mau menikah, apa saja yang bisa dilakukan? Diperlukan ada tim sapu bersih (Saber) pernikahan usia anak. Joko mengatakan, risiko terbesar ketika pihaknya ingin mencegah pernikahan usia anak, adalah adanya resistensi yang datang justru dari aparatur pemerintah seperti kepala dusun, kepala desa, atau sekolah.

“Itu yang kemudian menjerumuskan. Malah dia yang ngotot untuk kemudian dia menikahkan anak. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, kalau mau buat Perda. Umurnya sudah jelas di undang-undang pernikahan, tapi persoalannya bagaimana caranya kita memberi sanksi kepada aparatur pemerintah yang mendukung pernikahan usia anak,’’ katanya.

Para aparatur pemerintah itu cenderung ingin menjaga nama baik desa atau sekolah. Jika semua pihak mendukung untuk memisahkan pernikahan usia anak, itu lebih mudah. Joko menekankan, masalah terbesar yaitu aparatur pemerintah yang belum satu suara.

Karena itu, diperlukan sinergi dalam penanganan pernikahan usia anak. Pertama sinergi di tingkat pemerintahan. Dinas-dinas harus memahami bahwa pernikahan usia anak adalah masalah bersama.

“Dan sebenarnya masalah kita di situ saja, masalah anak itu ujungnya di pernikahan usia anak. Pelaku kejahatan juga karena pernikahan usia anak. Tetapi belum menjadi isu bersama, masih sektoral. Sehingga kalau mau bersinergi, ayo kita bangun sistemnya,” ajaknya.

Joko menyampaikan, persoalannya, permasalahan ini tidak pernah dibicarakan di level pimpinan. Padahal jika membicarakan kota layak anak, salah satu yang menjadi sorotan tentang pernikahan usia anak. Tapi ketika diundang, level pengambil kebijakan tidak hadir. “Perlu dari level pimpinan daerah mengajak untuk membicarakan,” katanya.

Terkait dengan Peraturan Daerah (Perda) untuk pernikahan usia anak, pihaknya mendorong adanya Perda itu. Pada undang-undang perlindungan anak, sudah melarang pernikahan usia anak, tapi tidak memberi sanksi. Menurutnya, pernikahan usia anak, merupakan satu-satunya larangan yang tidak diberi sanksi pada undang-undang perlindungan anak itu.

“Kita bisa berikan sanski melalui Perda, kepada aparatur, segala macamnya, ini kami sarankan,” katanya.

Sementara itu, M. Riadhussyah, dari Divisi SDM LPA Mataram, mengisahkan pengalamannya dalam melakukan advokasi mencegah pernikahan dini. Ia mengalami banyak tantangan dan hambatan. Bahkan, jiwanya pun ikut terancam.

“Tahun lalu, ketika saya membelas (memisahkan), itu nyawa saya sudah (tinggal) 10 persen. Karena senjata tajam itu sudah di leher. Karena keluarga juga malu kalau anaknya dibelas,” ujar Riadussyah.

Selain itu, ia juga menegaskan bahwa berangkat dari pengalaman advokasinya, pernikahan dini juga merupakan dampak dari situasi lingkungan sosial anak. Riadussyah menceritakan kisah advokasinya pada salah satu anak yang menikah di bawah umur, mengaku salah satu alasan kuatnya untuk menikah, adalah orang tuanya sangat keras dalam menerapkan pendidikan.

“Saya ingin tegaskan bahwa pernikahan bukan aktivitas, tapi adalah masa depan, yang dilihat sama anak saat ini adalah pernikahan aktivitas yang menyenangkan. Untuk itu kita harus duduk pada level yang menentukan kebijakan. Harus bisa seirama dan beriringan, jangan sampai kita beriringan tapi tidak seirama, beda nada,’’ ujarnya. (ron/ndi)