Saat Serban Maulana Syekh Terbakar di Mekah

0

Mataram (suarantb.com) – Kiranya tak cukup hanya mengenal sosok Maulana Syekh Tuan Guru Kyai Haji (TGKH) M. Zainuddin Abdul Madjid dari keberadaan Nahdlatul Wathan, dengan ratusan lembaga pendidikannya. Fragmen-fragmen  kehidupannya juga menarik ditelurusi, karena untaian hikmah yang terkandung di dalamnya.

Salah satunya kisah terbakarnya serban Maulana Syekh yang dikutip dari buku Keagungan Pribadi Sang Pecinta Maulana karya Muhammad Thohri, dkk.

Alkisah, peristiwa terbakarnya serban ini terjadi saat Maulana Syekh tengah menuntut ilmu di Tanah Suci Mekah. Kala itu usianya masih sangatlah muda, belasan tahun. Ia didampingi orang tuanya, TGH. Abdul Madjid dan Hj. Halimatussadiyah menuntut ilmu pada ulama-ulama besar di sana.

Selama belajar di Madrasah Al Saulatiyah, madrasah tertua di Mekah, Maulana Syekh memang terkenal sebagai murid pintar, cerdas dan cepat dalam belajar. Hingga ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di sana hanya dalam waktu enam tahun saja. Dimana normalnya satu orang murid membutuhkan waktu sembilan tahun untuk menyelesaikan studi di sana.

Mungkin salah satu kunci dari keberhasilan Maulana Syekh itu adalah kebiasaannya belajar sehabis salat malam sekitar pukul 02.00 dan berakhir menjelang fajar. Kala itu pula, ia ditemani sang ibu belajar. Namun, bukan dengan duduk mengajari putranya, melainkan dengan berzikir dan berwirid sambil memantau putranya.

Duduk bersila menghadap kiblat, diterangi lampu minyak tanah, begitulah suasana belajar Maulana Syekh. Malam itu, saat tengah khusyuk belajar, ia mencium aroma terbakar. “Inaq, epe motong mambune?” tanya Maulana Syekh. (Ibu, sepertinya ada bau sesuatu yang terbakar).

Sang Ibu pun tersentak, lalu bangun memeriksa dapur jika saja lupa mematikan kompor. “Ndereq, anakku,” jawab Ibunya. (Tidak ada, anakku)

Ia pun melanjutkan membaca. Namun, beberapa saat kemudian Maulana Syekh kembali berteriak, “Inaq, epe gene motong tini paon membune mene”. (Ibu, mungkin ada yang terbakar di dapur, baunya keras sekali ini)

Sang Ibu kembali bergegas ke dapur, namun tak ada yang terbakar. Ia memeriksa setiap sudut kamar, hasilnya nihil. Lalu kembali terdengar teriakan ketiga dari Maulana Syekh. “Epe motong keras epe mambune?” (Apa yang gosong, keras sekali baunya?)

Bingung dengan teriakan anaknya, akhirnya Hj. Halimatussadiyah mendatangi kamar anaknya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat serban anaknyalah yang terbakar.

“Anakkuu… motong serban meq, anakkuuu… motong serban meq!” teriaknya. (Anakku, serbanmu terbakar, anakku serbanmu terbakar!)

Dengan sigap Maulana Syekh membuang serban di atas kepala dan memadamkan api yang membakarnya. Kedua ibu dan anak itu sejenak terdiam membayangkan kemungkinan jika terlambat menyadari serban yang terbakar. Maulana Syekh bisa saja terkena luka bakar, bahkan rumah (kos) tempat mereka tinggal bisa ludes dilalap api.

Meski kaget dan syok, Maulana kembali melanjutkan belajarnya. Ia kembali khusyuk membaca buku dan kitab, seakan-akan peristiwa serban terbakar itu tidak pernah terjadi.

Satu lagi resep belajar dari Maulana Syekh yang diceritakan Thohri dalam bukunya, yaitu jika mengalami kesulitan memahami isi buku atau kitab yang dibacanya, ia akan bersegera mengerjakan salat sunat, salat sunat hajat atau sunat mutlaq. Jika perlu, itu dilakukannya berkali-kali tiap menemukan kesulitan. Hingga biasanya setelah itu beliau akan lekas paham.

Apa yang bisa dipelajari dari terbakarnya serban Maulana Syekh itu? Sederhana saja, peristiwa ini menunjukkan betapa pendiri NW ini sangat cinta belajar.

Serban itu menjadi saksi betapa asyiknya sang pemilik belajar hingga tak menyadari serban di kepalanya terkena api dari lampu minyak. Ini menunjukkan betapa besarnya hasrat kakek dari Gubernur NTB, Dr. TGH. M. Zainul Majdi ini untuk menuntut ilmu dan cinta belajar.

Seharusnya, semangat ini bisa ditiru pelajar dan pemuda masa kini di Nusa Tenggara Barat, untuk terus belajar dan tidak berakhir dengan putus sekolah. Sebab, rata-rata angka lama sekolah di NTB tercatat baru mencapai angka 6,7 tahun atau hanya sampai lulus sekolah dasar. (ros)