Mataram (Suara NTB) – Permasalahan hak akses nelayan kecil tradisional terhadap Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menjadi masalah klasik. Isu kurangnya kuota BBM bersubsidi mencuat, namun sepertinya bukan itu saja permasalahannya, kata Ketua DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kabupaten Lombok Utara Efendi.
Kurangnya pengawasan akan penyerapan BBM bersubsidi juga menurutnya perlu disorot, siapa saja yang selama ini mengakses BBM bersubsidi tersebut. “Jangan sampai BBM subsidi salah sasaran penerimanya,” katanya kepada Suara NTB, Rabu, 20 Januari 2021. Hal ini mengingat masih banyaknya nelayan kecil tradisional yang belum mendapatkan BBM bersubsidi, khususnya di Kabupaten Lombok Utara. Kendati didapat, namun dengan harga yang lebih tinggi dari harga BBM bersubsidi yang sudah ditetapkan pemerintah.
Selain itu, belum bisanya nelayan kecil tradisional mengakses BBM bersubsidi juga disebabkan kurangnya infrastruktur pendukung. Misalnya terbatasnya jumlah SBPN. Akibatnya, nelayan harus menjangkau jarak yang jauh untuk mendapatkan BBM subsidi di SPBU. Paling mudah, BBM subsidi didapatkan di pengecer. Konsekuensinya tentu harga tidak lagi subsidi.
Hal ini menurutnya karena kurangnya keberpihakan anggaran pemerintah kabupaten/kota dan provinsi terhadap nelayan. “Berangkat dari hal-hal yang menjadikan nelayan kecil tradisional tidak bisa mengakses BBM bersubsidi tersebut, kami berharap pemerintah baik daerah maupun pusat dapat memberikan anggaran yang cukup untuk membangun infrastruktur agar nelayan kecil tradisional dapat mengakses haknya tersebut,” harapnya.
Disamping itu, perlu adanya skema pengawasan yang jelas tentang penyerapan BBM bersubsidi. Jangan sampai kuota ditambah namun yang mengakses bukan nelayan kecil tradisional. “Syukur-syukur kalau nelayan dipercaya untuk mengelola SPBN sendiri, melalui koperasi-koperasi nelayan misalnya. Akan tetapi dalam hal ini perlu juga disokong dengan permodalan dan pendampingan, agar benar-benar berkelanjutan,” demikian Effendi. (bul)