Menjawab Pernyataan Aset Pemda Lobar yang Diagunkan oleh STIE AMM

0
Dr. H. Umar Said, SH., MM

 

Oleh: Dr. H. Umar Said, S.H., M.M.

(Ketua STIE AMM Mataram)

 

Perbincangan dengan para mahasiswa STIE AMM kembali bergulir. Kali ini mereka bertanya terkait tuduhan Pemda Lombok Barat yang menyatakan asetnya dijaminkan oleh pihak kampus, sehingga kasus ini berakhir pada pelaporan ke Kejaksaan Tinggi. Kami pun bertanya, “Aset Pemda Lombok Barat mana yang kami jadikan agunan?”

Adapun aset awal yang disiapkan oleh Bupati Lombok Barat dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk.II Lombok Barat tanggal 27 Maret 1986 adalah berupa tanah seluas ±1.700m2 kepada Yayasan Lembaga Pendidikan Tridharma Kosgoro Tk.I NTB, sedangkan tanah yang ada di Jalan Brawijaya adalah hibah dari Gubernur NTB.

Jadi kalau tanah yang disiapkan Bupati Lombok Barat untuk membangun kampus STIE AMM yang adalah yang dimaksud, maka mari kita cermati hasil putusan PTUN Mataram No.64/G/2020/PTUN Mtr, dengan sumpah dan janji berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam eksepsi angka nomor II (dua) berbunyi menolak eksepsi tergugat (Kabupaten Lombok Barat) untuk seluruhnya.

Adapun yang ditolak adalah keterangan Kepala BPKAD Lombok Barat, yang menjadi satu-satunya saksi dalam perkara ini telah menyebutkan di dalam persidangan di bawah sumpah, bahwa STIE AMM telah menjaminkan aset Pemda Lobar sebagai agunan. Hal ini kemudian dijelaskan oleh majelis hakim PTUN bahwa yang dijamin adalah barang-barang bergerak/tidak bergerak di atas tanah seluas 1.700 m2.

Kami kira berdasarkan hal tersebut, maka eksepsi (keterangan) atau alasan BPKAD sudah ditolak. Walaupun demikian, kami menghormati hak seseorang untuk membuat laporan (yang tidak dapat dihalangi). Pada akhirnya, konsekuensi tersebut akan kembali kepada pelapor.

Demikian pula putusan PT TUN Surabaya No. 132/B/2021/PT.TUN Sby dengan berpedoman pada “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menolak eksepsi yang diajukan terbanding (Bupati Lombok Barat).

Jadi kedua putusan PT TUN ini telah menolak keterangan saksi (BPKAD) seluruhnya termasuk persangkaan aset Pemda Lombok Barat yang dijadikan agunan di Bank BPD NTB Syariah (silakan cek di Bank NTB).

Kini pihak BPKAD telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI, yang dipermasalahkan adalah Surat Keputusan Bupati Lombok Barat tanggal 27 Maret 1986 yang dicabut dengan surat Keputusan Bupati Lombok Barat tanggal 28 September 2020.

Kalau kita cermati, dari tahun 1986 sampai dengan 2021, maka beberapa pejabat bupati yang telah berlalu mulai dari Bupati Drs. H. L. Ratmadji; Drs. H. L. Mudjitahid; Drs. H. Iskandar; dan Dr. H. Zaini Arony, belum pernah mempersoalkan tanah kampus STIE AMM. Tetapi pada tahun 2020 kini kampus STIE AMM dihadapkan dengan Perda No. 10 tahun 2015 dan Permendagri tahun 2016. Menurut kami sebenarnya permendagri ini dibuat sebagai pedoman penyusunan Raperda Lombok Barat, tetapi berdasarkan aturan Permendagri melalui proses appraisal oleh Pemda Lombok Barat, justru kami ditagih sebesar Rp4 miliar lebih.

Kampus STIE AMM berpegang pada SK Bupati tanggal 27 Maret 1986, yang di dalamnya tidak mengatur tentang sewa tanah untuk pendidikan. Walaupun demikian, pihak kampus selalu mengatakan kita berpedoman utamanya kepada UU No. 28 tahun 2009, bahwa setiap daerah harus melakukan retribusi dan pajak berdasarkan Perda. Oleh karenanya, pihak kampus STIE AMM tidak sependapat dengan diharuskannya membayar sewa di luar Perda, apalagi dengan suatu keputusan berlaku surut 10 tahun ke belakang. Sehingga dengan ini kampus STIE AMM tetap berpegang kepada Keputusan Bupati Kepala Daerah Tk.II Lombok Barat, tanggal 27 Maret 1986, dengan No. 254/593/287 tentang penyerahan penggunaan tanah yang dikuasai oleh  Pemerintah Daerah Lombok Barat.

Selanjutnya, para mahasiswa STIE AMM mempertanyakan soal kasasi. Menurut kami bahwa soal kasasi dalam pengadilan PTUN ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 tahun 2016, tentang pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung RI tahun 2016 sebagai pedoman pelaksanaan tugas pengadilan dalam Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara angka 6 pembatasan upaya hukum kasasi “kriteria pembatasan upaya hukum kasasi dalam pasal 45 ayat (2) huruf c, UU No.5 tahun 2004 adalah bagi putusan pejabat daerah yang berasal dari sumber kewenangan desentralisasi. Tetapi di dalam keputusan pejabat daerah yang bersumber dari kewenangan dekonsentrasi atau bersumber dari kewenangan perbantuan terhadap pemerintah pusat (medebewind) tetap bisa melakukan kasasi”.

Di mana undang-undang No. 5 tahun 2004 tentang perubahan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI dalam pasal 45 a ayat (2) sampai dengan ayat (5) yang berbunyi

(2) Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

  1. putusan tentang praperadilan;
  2. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
  3. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

(3) Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.

(4)  Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat diajukan upaya hukum.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

Oleh karena itu kami mempersilakan kepada mahasiswa untuk mempelajari dan menafsirkannya sebagai suatu kebebasan mimbar pendapat di perguruan tinggi. (r)