Oleh :CHAIRUL MAHSUL*
(Widyaiswara Ahli Utama pada BPSDMD Provinsi NTB)
“Whole of government denotes public service agencies working across portfolio boundaries to achieve a shared goals and an integrated government response to particular issues“(Connecting Government : Whole of Government Responses to Australias Priority Challenges Tri Widodo W. Utomo LAN-RI)
Cara institusi pemerintah bekerja melintasi batas portofolio untuk mencapai tujuan bersama dan melakukan respon terpadu dalam menghadapi isu-isu tertentu.
—————-
Sejak hidup dalam peradaban teknologi informasiyang bermula massif pada paruh kedua abad ke-20, rasanya baru kali ini dunia dan negara-negara adidaya dipaksa menyerah takluk bukan oleh operasi agen rahasia tapi oleh agen infeksi biologi berukuran sangat kecil yang dinamai Severe Acute Respiratory Syndrome-Related 2 (SARS-CoV-2) oleh Coronavirus Study Group (CSG) dari Komite Internasional untuk Taksonomi Virus (ICTV). Dia sanggup bereproduksi, bermutasi dan berevolusi dalam tempo sangat cepat dan mampu menyebar luas melalui vector dan carrier. Wabah penyakit yang disebabkan SARS-CoV-2 itulah yang kemudian oleh World Health Organization (WHO) diberi nama resmiCorona Virus Disease 2019 (COVID-19) karena diketahui mulai menginfeksi manusia pada akhir Tahun 2019. WHO kemudian menetapkannya sebagai pandemictanggal 11 Maret 2020 karena penyebarannya yang begitu cepat dan luas hingga ke wilayah yang jauh dari pusat wabah dan ketika sudah menginfeksi lebih dari 118.000 orang di 114 negara dan menyebaban kematian 4.291 orang di seluruh dunia.Tidak ada bidang dan sektor kehidupan yang tidak terdampak oleh serangan micro-organisme tersebut. Karena jenis virusnya berbeda dan baru, belum ditemukan vaksin dan obatnya, pola penanganan di tiap-tiap negara tidak menunjukkan pola seragam, termasuk belum ada panduan baku efektif yang direkomendasikan WHO. Aktivitas keagamaan, interaksi sosial, ekonomi dan bisnis, agenda politik sampai model pengelolaan pemerintahanpun dipaksa mencari pola baru untuk menyesuaikan agar aktifitas tidak berhenti total serta tetap mampu bertahan sampai sebaran wabah menurun dan ditemukan pola penanganan tepat dan efektif.
Sejak diketahui mewabah pertama kali di Wuhan -China akhir Tahun 2019 dengan cepat mulai menginfeksi banyak orang, Pemerintah China langsung memberlakukan karantina wilayah sebagian (partially lockdown) di Kota Wuhan, kemudian berlanjut ke seluruh Provinsi Hubei. Ketika penyebarannnya mulai melintas antar negara di benua lain, ada negara yang menerapkan karantina wilayah total (totally lockdown)seperti di seluruh wilayah Italia, India, Spanyol, Perancis, New Zealand dan negara lain, ada yang memberlakukan pembatasan sosial berskala besar seperti yang dilakukan Indonesia, adapula yang menguji nyali warganegaranya dengan mengandalkan kekebalan berjamaah (herd immunity) seperti Swedia, Belanda dan berapa negara lain. Tiap negara menerapkan pola penanganan yang berbeda-beda, bersifat trial and error serta tidak ada yang sanggup menggaransi pasti efektif. Banyak tokoh politik, keluarga kerajaan dan figur publik yang divonis positip bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia. Tidak ada negara yang mengklaim dirinya paling berhasil. Jika jumlah kematian yang menjadi indikator, maka Vietnamlah yang seharusnya dianggap paling berhasil karena jumlah kasusnya relatif kecil dengan jumlah kematian nol.
Data worldometer hari Sabtu 26 September jam 15.52 GMT, jumlah kasus global sudah mencapai 32.840.872, sembuh 24.213.993 (73,6%), meninggal 994.807 (3,06%) dan sudah mewabah di 216 negara.
Ketahanan nasional negara maju sekalipun, terbukti gagal dan tergagap menangani COVID-19 yang meledak bersamaan dalam serial waktu dalam satu wilayah, bahkan Amerika Serikat yang dinilai memiliki sistem dan manejemen kesehatan yang diakui bagus, moderen dan maju, juga terbukti gagalkarena jumlah meninggal mencapai 208.625 orang(2,87%)dari 7.251.327 kasus, meskipun kabar baik yang dinyatakan sembuh juga terbilang cukup tinggi 4.481.167 (61,79%).
—————–
Di Indonesia, awalnya tidak sedikit pejabat, pesohor dan figur publik yang terkesan mencandai sebaran wabah dan resikonya, bahkan menyampaikan pernyataan nyeleneh dan terkesan menyederhanakan masalah; virus COVID-19 tidak mampu bertahan di negara tropis, masker hanya untuk orang sakit, difteri saja kita tidak takut apalagi corona, tubuh orang Indonesia kebal virus corona karena sering mengkonsumsi nasi kucing dan pernyataan candaan lainnya.
Presiden Joko Widodo mengumumkan 2 pasien positip pertama pada 2 Maret 2020, kematian pertama diumumkan 11 Maret, sekaligus hari yang sama Menteri Kesehatan mengumumkan sembuhnya 2 pasien pertama. Setelah hampir 7 bulan, data Sabtu, 26 September mencapai271.339 kasus, sembuh 199.403(73,48%), meninggal 10.308orang (3,79%).
Pada masa awal pandemi, berita media mainstream dan berbagai platform medsos, tidak sedikit aspirasi warga mendorong Pemerintah untuk menerapkan pola pengendalian yang lebih keras dan tegas, bahkan menuntut memberlakukan karantina wilayah (lockdown) sesuai Undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan.
Akhirnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang menjabarkan lebih lanjut tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).Didalam mengusulkan status PSBB, Kepala Daerah harus menyertakan data peningkatan jumlah kasus, penyebarannya, terjadinya transmisi lokal dan menyampaikan informasi kesiapan daerah soal ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jarring pengaman sosial dan aspek keamanan. Contoh daerah yang pernah memberlakukan PSBB, dimulai pertama kali di DKI Jakarta tanggal 9 April, dilanjutkan dengan daerah-daerah penyangganya di Bodetabek, Kota Makasar, Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kabupaten Sumedang) berlanjut ke seluruh Provinsi Jawa Barat.Semua media memberitakan kondisi terkini penyebarannya. Jakarta yang semula sudah mulai melonggarkan PSBB-nya, akibat kenaikan jumlah kasus dan kematian sejak akhir Agustus, kembali memberlakukan PSBB secara ketat.
Konyolnya, pada awal Pandemi, kerap muncul di lapangan kejadian lucu, unik, menggemaskan sekaligus mengharukan. Ada pasien yang kabur lewat jendela rumah sakit, ada yang protes tidak mau diisolasi dan mengancam petugas dengan senjata tajam, ada yang tidak jujur menceritakan riwayat perjalanannya ke daerah terdampak atau pernah kontak dengan orang yang dinyatakan positip, warga juga protes terhadap pembatasan dan himbauan untuk tidak sholat jumat, sholat berjamaah dan tarawih di masjid.
Bisa jadi perlawanan itu terkait dengan pola budaya setempat yang tentu berbeda-beda, bisa pula karena perlakuan selama karantina, adayang menganggap dirinya merasa sehat wal afiat tanpa gejala apapun, atau persepsi-persepsi oportunistik dan subyektif lainnya. Banyak juga yang naif berfikir bahwa ketika seseorang meninggal dunia dengan gejala yang mirip COVID-19 seperti pneumonia (sesak nafas), batuk berdahak dan demam, meski belum pasti kematian positip karena belum atau tidak dilakukan test SWAB, protokol pemakamannya menggunakan SOP pemakaman positip sehingga ada yang menganggap bahwa peristiwa kematian saat pandemic adalah kematian yang “paling tidak diinginkan
—————-
Bagaimana dengan NTB?
Sampai tulisan ini dibuat, argo waktu menunjukkan sudah 187 hari kita berjalan beriringan bersama COVID-19 sejak Gubernur NTBmengumumkan kasus pertama,seorang perempuan berusia 50 tahun asal Lombok Timur pada Selasa 24 Maret.
Pertanyaannya berikut, bagaimana kita menguji resiliensi daerah ini? Mari kita telusuri data pengendalian COVID-19 di NTB. Rilis resmi Pemprov NTB Sabtu, 26 September, jumlah kasus sebanyak 3.262 orang, sembuh 2.557 orang (78,38%), meninggal 189 orang (5,79%) dengan jumlah kasus suspek 11.542 orang.
Jika menyandingkannya dengan data COVID-19 provinsi lain, NTB menempati posisi 18 dalam jumlah kasus, persentase sembuh pada posisi 11dimana Maluku Utara dan Gorontalo menempati persentase kesembuhan tertinggi diatas 86 persen.
Persentase meninggal berada di posisi 3 setelah Jawa Timur (7,27%) dan Jawa Tengah (6,49%). Justru dengan mencermati tingginya persentase kematian, NTB memiliki resiko yang tergolong sangat tinggi, diatas fatality ratenasional sebesar 3,80%. Tentu hal ini memerlukanrespondan treatment khas secara terpadu dalammelacak dan menangani secara cepat dan tepat agar rantai penularan dapat diputus sembari jumlah kematian terus ditekan sekecil mungkin.
NTB harus menjadi perhatian serius berdasar alasan-alasan:
Pertama, terjadi peningkatan jumlah kasus secara signifikan dari 1 kasus menjadi 3.262, jika dirata-ratakan terjadi 17,44 kasus setiap hari. Gubernur juga sudah menetapkan status siaga darurat bencana non-alam dan meningkatkan status menjadi tanggap darurat.
Kedua, jika merujuk standar WHO, swab test idealnya dilakukan terhadap 1:1.000 penduduk setiap pekan. Jika merujuk proyeksi penduduk NTB Tahun 2020 mencapai 5.125.622 jiwa (menurut BPS), artinya jumlah yang ditest sekurangnya 5 ribu orang setiap pekan, tentu akan sangat memberatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah ditengah keterbatasan fiskal dan pelambatan ekonomi.Indonesia sendiri baru mampu melakukan test swab Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)sekitar 35 persen dari jumlah ideal test WHO, sedangkan untuk NTB tidak didapatkan datanya. Bisa jadi jumlah kumulatif kasus yang ada dan penambahan kasus-kasus baru setiap harinya, bukan cermin kondisi yang sesungguhnya karena jumlah test yang sangat jauh dari memadai, dia ibarat fenomena gunung es(icebergphenomenon).
Ketiga, tingkat penyebaran juga sudah meluas pada 10 kabupaten dan kota sehingga tidak ada lagi kabupaten/kota yang terbebas kasus, bahkan laman Kemenkes menyebutkan hanya Kabupaten Lombok Utara, Sumbawa Barat dan Kota Bima yang bukan daerah transmisi lokal.Berbeda dengan imported case yang contact tracing-nya lebih mudah dilakukan terhadap orang yang sebelumnya diketahui memiliki riwayat perjalanannya ke daerah pandemic atau pernah kontak dengan seseorang yang terpapar COVID-19, dengan gejala maupun tanpa gejala. Pola transmisi lokal ini agak berbeda, lebih rumit dan tidak jelas menelusurinya dengan siapa, kapan dan dimana seseorang terpapar. Untuk menguji terjadinya transmisi lokal, jelas dibuktikan secara khas oleh pasien nomor 234, seorang bayi berusia 2 bulan yang terpapar lanjutan tingkat 3 karena kontak dengan pasien nomor 106 dan 181 (terpapar lanjutan tingkat 2). Demikian pula pasien nomor 266, seorang perempuan berusia 31 Tahun yang berdomisili di daerah yang terhitung remote area, Desa Labuhan Kuris – Kecamatan Lape – Kabupaten Sumbawa, yang tidak memiliki riwayat perjalanan ke daerah terjangkit dan tidak pernah kontak dengan orang positip COVID-19, kemudian dinyatakan positip dan meninggal dunia. Hal paling menghawatirkan dalam tranmisi lokal adalah tipikal Orang Tanpa Gejala (OTG) karena secara fisiologis, psikologis dan medis tidak menampakkan gejala apapun, tapi potensial menjadi pembawa (carrier) yang dapat menularkan kepada orang lainnya tanpa sadar.Jumlah transmisi lokal ini makin bertambah signifikan dari hari ke hari dan menjadi kasus tambahan baru.
Keempat, terdapat kondisi anomali di tengah masyarakat. Ketika di awal-awal pandemic denganjumlah kasus masih sangat sedikit, justru ketakutan kita untuk terinfeksi sangat luar biasa bahkan nyaris paranoid akibat terpapar serbuan konten informasi yang sangat beragam, meskipun itu informasi hoax dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, namun kini ketika jumlah kasus semakin meningkat tajam dan masih terus terjadi, justru kewaspadaan kita menjadi sangat longgar dan pertimbangan pragmatis keluar rumah meski untuk keperluan yang tidak penting.
Kelima, salah kaprah terhadap pengertianeranew normal yang kemudian diganti dengan adaptasi kebiasaan baru, banyak yang menganggap bahwa situasi dan kondisi sudah kembali normal seperti sebelum terjadinya pandemic sehingga aktifitas apapun sudah boleh dilakukan. Penggunaan masker, jaga jarak fisik, sering cuci tangan dan menghindari kerumunan, mulai sering diabaikan.
NTB dan Whole of Government
Kini, perjalanan sudah semakin jauh, melelahkan dan panjang, akan tetapi trend penurunan kasus belum juga terjadi. Pemerintah terjepit pada dua postulatum sulit antara menyelamatkan nyawa manusia sekaligus menyelamatkan ekonomi.
Bagaimana menguji model whole of government bekerja efektif mengendalikan COVID-19 di NTB?
Secara teoritik, diperlukan kesepakatan dalam 3 hal utama yaitu (1) koordinasi, (2) integrasi dan (3) kedekatan dan pelibatan. Ketiganya dijalankan untuk mengembangkan strategi bersama dengan mempertimbangkan dampak, bertukar informasi, perencanaan bersama (joint planning), kolaborasi kerja (joint working), membangun aliansi strategis untuk perencanaan berjangka panjang, serta kolaborasi pada isu-isu besar dan strategis yang memerlukan pelibatan kelompok besar dan luas. Keuntungan menerapkan model whole of government akan mengarah pada hasil yang lebih focus (outcomes focused), rentang batas lebih luas (boundary spanning), ditemukan opsi-opsi yang lebih memungkinkan (enabling) dan memperkuat daya cegah terhadap kemungkinan resiko-resiko negatif (strengthening prevention). Namun, konsep whole of governmentmemiliki tantangan sekaligus kelemahan dalam menerapkannya, jika kepemimpinan (leadership) yang tidak adapatif dengan isu-isu besar dan strategis, kapasitas SDM dan institisi yang tidak memadai serta nilai dan budaya organisasi yang masih menganut pola pikir usang tidak berfikir kedepan sebagai organisasi yang harus senantiasa berubah sejalan perubahan lingkungan strategisnya. Kesulitan lain dalam menerapkannya adalah menghadapi tembok egoisme sektoral padahal dengan whole of government akan mampu menghubungkan antar titik-titik sektor (connecting the dots), mengubah pengetahuan menjadi pengalaman (turning knowledge into experiences), memberi makna dan nilai tambah dari kesendirian menjadi keterkaitan/aliansi (giving added value from solitude to linkage/alliance) dan sebagai media untuk mengekspresikan kepentingan dan mewujudkan hasrat (expression of interest and manifesting desires).
Membandingkan teori whole of government dengan kondisi faktual pengendalian pandemic di NTB, dapat dianalisa secara melalui beberapa indikasi.
Sedari awal pandemic, prakarsa dan ikhtiar pemerintah untuk mengurangi jumlah kematian, meningkatkan jumlah yang sembuh, dan menekan jumlah yang terpapar, sekaligus mampu bertahan menjaga geliat ekonomi masyarakat, menjadi komitmen kuat petinggi Provinsi NTBsampai Kabupaten dan Kota secara berjenjang, didukung penuh Pimpinan TNI/ Polri dan tokoh lain, namundengan cara agak berbeda dibanding provinsi lainnya. Sinergi, kolaborasi dan integrasi melintasi batas portofolio sebagai wujud whole of government nampak dari indikator berikut:
Pertama, paket Jaring Pengaman Sosial (JPS) NTB GEMILANGsampai Tahap III yang lazimnya berisi sembako produksi pabrikan besar, dimodifikasi dengan memberdayakan produk-produk yang dibeli dari IKM/UMKM lokal, hal mana sekaligus mempercepat daya serap APBD NTB. Kebijakan ini sangat diapresiasi oleh Presiden Joko Widodo dan meminta Provinsi lainnya untuk mengikuti dan mencontoh pola JPS NTB (Rapat Kerja Serapan APBD 2020 di Istana Bogor, 15 Juli 2020).
Kedua, meskipun pernah menawarkan kebijakan untuk menerapkan PSBB kepada Walikota Mataram dan Bupati Lombok Barat pada rapat tanggal 3 Mei, lebih dipilih kebijakan pembatasan sosial berbasis lingkungan, RT, RW yang nampaknya dianggap lebih efektif, selain pertimbangan rasional keterbatasan fiskal yang kemudian ternyata diikuti juga di daerah lain.
Ketiga, Irjen Pol Mohammad Iqbal, Kapolda NTB yang baru menjabat ditengah pandemic juga punya komitmen untuk memperkuat sinergitas lintas institusi dengan menggagas Kampung Sehat yang didukung penuh jajaran lain untuk memutus mata rantai penularan COVID-19 dan mengedukasi masyarakat untuk mengembangkan potensi desa dalam menunjang ketahanan pangan. Menjaga penataan dan kebersihan lingkungan desa, memproduksi hasil olahan rumahan dan kerajinan tangan serta seluruh warganya menggunakan masker dan menerapkan protocol kesehatan mendapatkan apresiasi dari Menko PMK Muhadjir Effendi ketika tanggal 28 Agustus mengunjungi Kampung Sehat Rajumas Mantang Lombok Tengah.
Keempat, Provinsi NTB mungkin pelopor dan tercatat sebagai daerah pertama di Indonesia yang menerbitkan regulasi lokal pengendalian COVID-19 dalam bentuk Peraturan Daerah, yaitu Perda NTB Nomor 7 Tahun 2020 TentangPenanggulangan Penyakit Menular yang kemudian pengaturan lebih rinci dijabarkan dalam Pergub NTB Nomor 50 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian COVID-19. Dalam operasi penertiban, selain menerapkan sanksi administratif (peringatan lisan, peringatan tertulis denda paling banyak Rp. 500.000) atau memberikan sanksi sosial berupa kerja bhakti sosial membersihkan ruas jalan/selokan/tempat umum/fasilitas umum yang ditentukan dan wajib mengenakan atribut khusus. Regulasi ini sekaligus memberi kesempatan luas kepada warga masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran protokol oleh pihak manapun kepada petugas yang harus ditindaklanjuti paling lama dalam 24 (duapuluh empat jam). Pemeriksaan di jalan raya, area dan fasilitas umum, alat transportasi dan titik-titik daerah wisata menjadi sasaran pengawasan kepatuhan warga. Penulis kerap menemukan kegiatan terpadu Polisi Pamong Praja, TNI dan Polri memeriksa pemakaian masker dan menjaga jarak fisik, termasuk mengalami langsung operasi penertiban penerapan protocol kesehatan di Pantai Wisata Mangsit hari Sabtu 26 September lalu.
Semua regulasi, inisiatif dan aktifitas penertiban itu nantinya akan bisa diukur dari capaian keberhasilan koordinasi, kolaborasi dan integrasi mencapai outcomes focuseditu dalam sajian data.Menurunnya jumlah temuan kasus baru, naiknya orang yang dinyatakan sembuh, menurunnya jumlah kematian serta bertahan tangguh menjaga aktivitas ekonomi dan investasi dalam kondisi stabilitas daerah yang terkendali, aman dan menyenangkan serta memulihkan dengan cepat sektor-sektor ekonomi yang selama ini menjadi andalan NTB, akan dicermati publik dalam data makro dan mikro ekonomi . Memang ini pekerjaan maha berat dan mungkin melelahkan karena bisa saja akanterus berlangsung dalam jangka waktu lama dan panjang. Leadership para Pemimpin Daerah yang selalu optimis melihat ada nyala lilin di ujung terowongan dan langkah panjang selalu dimulai dari langkah pertama menjadi ruh kuat menerapkan model whole of government dalam mengendalikan COVID-19 di NTB. Semoga, AMIN.
—————-
Akhirnya, kita semualah yang harus sepenuhnya sadar dan disiplin bahwa ditengah keterbatasan jumlah tenaga medis, alat kesehatan dan daya tampung fasilitas kesehatan, keterbatasan pembiayaan pemerintah, memiliki peran penting untuk menjaga diri, keluarga dan sahabatnya dengan disiplin ketat untuk menerapkan protocol kesehatan mengikuti anjuran pemerintah.
Wallahu alam bisshowab.
MARI TERAPKAN 4 M;
MENJAGA JARAK FISIK, MENGGUNAKAN MASKER, MENCUCI TANGAN DAN MENGHINDARI KERUMUNAN.
MENGANGGAP SETIAP ORANG ADALAH ORANG TANPA GEJALA (OTG) AGAR PROTOKOL COVID-19 BISA EFEKTIF DAN KONSISTEN DIJALANKAN.