Kenaikan Harga Rokok Dinilai Tak Sebanding Harga Tembakau

0

Selong (Suara NTB) – Wacana kenaikan harga rokok hingga tembus Rp 50 ribu per bungkus dinilai hanya sebagai salah satu tekanan untuk mempersempit ruang bisnis pertembakauan. Pasalnya, kenaikan tarif rokok itu tidak sebanding dengan harga tembakau sebagai bahan baku utamanya.

Hal ini diungkap Kepala Bidang Bina Usaha Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Muhrim. Sejauh ini katanya tidak pernah berdampak pada petani. Sebaliknya, petani justru merasa semakin tertekan. “Belum tentu untungkan petani, karena komoditi tembakau ini selalu dikendalikan,” ungkapnya

Saat ini harga tembakau dengan grade tertinggi atau kualitas terbaik berkisar Rp 38 ribu per kilogram krosok. Biaya produksi tembakau virginia dihitung Rp 50 juta per hektar. Termahal adalah biaya tenaga kerja yang tiap tahun meningkat. Terakhir pantauan Dishutbun Lotim di Jerowaru, buruh laki-laki sekaligus tukang angkut daun hingga pinggir jalan dibayar Rp 70 ribu per hari. Sedangkan tenaga panen perempuan Rp 46 ribu per hari. Belum lagi ditambah bahan bakar, dan biaya sarana produksi lainnya.

Produktivitas tembakau virginia terbaik dalam 1 ha berkisar 2 ton. Dari jumlah itu, jumlah yang kualitas terbaik berkisar hanya 5 persen.  Diakumulasi, total keuntungan saat ini yang diperoleh petani Rp 20 juta. Benefit pendapatan dibagi cost produksi standarnya tumbuh sekitar 1,3 persen, yakni nilai jual dibagi biaya.

Muhrim menambahkan, secara  global dunia pertembakauan ini pun makin dipersempit. Keran ekspor komoditi tembakau disebut tumbuh negatif. Sebaliknya keran impor jauh lebih besar. Untuk itu diperlukan regulasi untuk melindungi tembakau. “Setidaknya kurangi  keran impor,” harapnya.

Menghadapi persaingan itu, diminta untuk terus meningkatkan kualitas produksi dan melakukan efisiensi dan penghematan biaya produksi. “Misalnya saja menggunakan bibit sehat, akan banyak yang bisa dihemat. Mupuk juga tidak makan banyak biaya dan kualitas hasil pun lebih baik. Karena selama ini penyebab tingginya biaya produksi karena bibit yang kurang baik,” terangnya. (rus)