Lebih Rp10 Miliar Penyelundupan Benih Lobster Digagalkan

0
Kepala BKIPM Mataram, Suprayogi dan tim saat menggagalkan penyelundupan benih lobster senilai Rp650 juta baru-baru ini. Penggagalan penyelundupan sekaligus dengan pelepasliaran kembali (Suara NTB/dok)

Mataram (Suara NTB) – Aktivitas pengiriman benih lobster secara ilegal masih marak terjadi. Kendati pemerintah dengan tegas meminta penangkapan, apalagi pengiriman benih lobster dihentikan bila ukuran di bawah yang diperbolehkan.

Dalam sepekan kemarin, setidaknya, dua kali digagalkan penyelundupan benih lobster melalui jalur penyeberangan laut. Pertama pada 27 Februari 2019 sebanyak 10.250 ekor, dengan nilai Rp1,5 miliar lebih. Lalu pada Minggu 2 Maret 2019, kembali tim gabungan dari Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIPM) Mataram, bersama KP3 Pelabuhan Lembar kembali menggagalkan upaya penyelundupan benih lobster sebanyak 3.250 ekor dengan pelaku asal Lombok Tengah. Nilainya Rp650 juta.

Penggagalan upaya penyelundupan ini, sekaligus dengan dilepasliarkannya kembali barang bukti di Pantai Kadinan, Lombok Barat oleh BKIPM Mataram dan tim. Sementara pada 2018 lalu, empat pelanggaran ditangani, dengan total nilai kerugian mencapai Rp9 miliaran. Total selama 2018-2019, nilai penyelundupan benih lobster yang digagalkan mencapai lebih dari Rp10 miliar.

Kepala BKIPM Mataram menyebut maraknya aktivitas penyelundupan ini ditengarai karena masih bagusnya harga dan tingginya permintaan. Kendati demikian, Kepala BKIPM Mataram, Suprayogi menyebut akan terus memperketat pengawasan dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan risiko dan ancaman hukuman yang dihadapi bila tetap melakukan penangkapan dan pengiriman benih lobster secara ilegal.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, Ir. L. Hamdi, M.Si., ditemui di ruang kerjanya, Senin (4/3) kemarin mengemukakan beberapa alasan mengapa penyelundupan benih lobster masih saja terjadi. Pertama, benih lobster adalah komoditas kelautan yang terbilang mahal. Harganya di negara tujuan ekspor mencapai Rp150.000 sampai Rp200.000/ekor yang masih berbentuk bening. Keduanya, benih lobster ini cukup mudah diperoleh. Terutama di kawasan selatan Pulau Lombok.

Ketiga, cara penangkapannya juga tak membutuhkan teknologi. Hanya dengan membuat rumah-rumahan, atau yang biasanya disebut pocong oleh nelayan penangkap. Bahannya hanya menggunakan kertas semen yang dilipat. Kemudian dilepas begitu saja tanpa harus dijaga. Dalam waktu tertentu kemudian diangkat. Keempat, pasarnya menunggu. Tanpa harus bersusah-susah memasarkannya.

“Itulah yang membuat orang harus nekat melakukan pelanggaran. Dan harganya cukup mahal,” kata kepala dinas. Dinas Kelautan dan Perikanan, kata L. Hamdi, pada prinsipnya tetap melakukan langkah pencegahan dan penindakan, bersama aparat lainnya. Diantaranya, dengan sosialisasi tentang keterancaman populasi benih lobster bila terus-terus di eksploitasi. Dan dapat merugikan masyarakat. Kemudian edukasi risiko hukum yang menunggu. Lalu pencegahan dengan patroli rutin bersama tim gabungan lainnya.

“Kita masih main kucing-kucingan. Saat dilakukan patroli, yang kita cari ndak ada. Barang bukti dan orangnya. Kemungkinan saat pergi, baru kegiatan penangkapannya dilanjutkan,” imbuhnya. Kendati demikian, meski ditangkap, nelayan sesuai undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang perikanan, ia hanya dikenakan sanksi berupa denda. Beda halnya dengan pengepul, ketika ditemukan melakukan pelanggaran Permen KP ini, sanksinya denda, serta penjara.

Dalam hal pengawasan ini, ia juga menyebut tidak bisa dilakukan hanya oleh petugas. Masyarakat harus turut serta menjaga lestarinya potensi kelautan perikanan di daerahnya. Serta mengawasi pemanfaatannya secara bijak agar ia berkelanjutan. Peran Pokmaswas di masing-masing daerah juga sangat diharapkan. (bul)