Kunjungi NTB, Ini Pesan Sri Sultan HB X

0

Mataram (Suara NTB) – Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X berbagi pengalaman mengenai penanganan pascabencana gempa ke jajaran Pemprov NTB. Ia mengingatkan Pemprov NTB agar menghindari kesalahan administrasi pertanggungjawaban penanganan pascabencana.

Jangan sampai, kata Sri Sultan upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah dengan membantu masyarakat yang menderita karena bencana berujung kepada bencana bagi birokrasi.

‘’Kalau saya, bagaimana pemerintah membantu publik, rakyat yang menderita itu. Tapi juga jangan sampai  menjadi bencana bagi birokrasinya sendiri. Karena  kesalahan administrasi dalam pertanggungjawaban dan sebagainya. Karena ketidaktahuan,’’ kata Sri Sultan dikonfirmasi usai pertemuan di Ruang Rapat Utama Kantor Gubernur NTB, Senin, 20 Agustus 2018 siang.

Pemprov DIY yang dipimpin langsung Gubernur dan Sekda datang ke NTB untuk menyerahkan bantuan bagi korban gempa di daerah ini. Selain menyerahkan bantuan, Pemprov DIY juga berbagi pengalaman mengenai penanganan pascabencana gempa. DIY pernah diguncang gempa yang dahsyat pada 2006 silam dengan kekuatan  5,9 skala richter (SR). Gempa tersebut menyebabkan ratusan korban jiwa dan ratusan ribu rumah warga rusak.

Mengenai penanganan pascabencana oleh pemerintah daerah, Sri Sultan mengatakan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku. Pertanggungjawaban  administratif mengenai penanganan pascabencana harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang sudah ditetapkan pemerintah.

Dalam ketentuan kadangkala ada hal yang perlu disesuaikan di lapangan. Ia mencontohkan pada waktu itu di DIY, warga yang rumahnya rusak berat diberikan bantuan sebesar Rp 15 juta. Uang sebesar itu dipergunakan untuk membeli bahan-bahan bangunan yang baru, bukan second.

Sekarang, korbna gempa di NTB yang rumahnya rusak berat diberikan uang sebesar Rp 50 juta. Menurut Sri Sultan, bantuan uang sebesar Rp 15 juta maupun Rp 50 juta belum tentu cukup untuk membangun rumah. Sehingga pada waktu itu di DIY, dengan bantuan uang sebesar Rp 15 juta, masyarakat dapat menggunakan bahan-bahan bangunan yang lama, yang maish dapat dimanfaatkan.

Dalam aturan, kata Sri Sultan sebetulnya hal ini tidak diperbolehkan. Tetapi dilakukan negosiasi. Dengan memanfaatkan bahan-bahan bangunan milik warga yang masih dapat dimanfaatkan, harapannya ekonomi masyarakat berputar kembali.

Pasalnya, kata Sri Sultan, jika pembangunan rumah warga yang menjadi korban gempa dilelang atau diserahkan ke kontraktor, maka mereka yang akan untung. Sementara kondisi ekonomi masyarakat yang menjadi korban gempa tak berputar. Dengan pola mengerjakan sendiri melalui pembentukan kelompok, kata Sri Sultan, maka ekonomi masyarakat juga berputar.

“Kalau dapat duit Rp 15 juta, ngerjakan sendiri, atapnya dari genteng yang lama. Dia bisa menyisihkan uangnya. Karena fakta. Dulu pada waktu  gempa di Yogyakarta, harga batu bata Rp 28 per biji. Begitu rehab rekon harganya Rp 420 per biji. Belum bambu, dari  Rp 800 menjadi Rp 4.000. Karena  kebutuhan banyak, harga naik. Artinya, yang sudah menderita dirugikan,” katanya. (nas)