Kenaikan Dana Bantuan Parpol Tak Jamin Tekan Korupsi

0

Mataram (Suara NTB) – Kenaikan dana bantuan terhadap partai politik (Parpol) hingga 10 kali lipat pada tahun depan dinilai tak akan menjamin dapat menekan korupsi. Jangan sampai kenaikan dana bantuan Parpol hanya dinikmati segelintir politisi atau elit-elit partai.

“Saya kira, secara langsung itu tidak berhubungan. Saya agak meragukan bahwa peningkatan dana Parpol kemudian akan berkorelasi dengan rendahnya atau menurunnya tingkat korupsi,” kata Pemerhati Politik NTB, Drs. Darmansyah, M.Si ketika diminta tanggapannya, Senin, 4 September 2017 siang kemarin.

Jika dianalogikan ada peningkatan pendapatan. Justru, kata Darmansyah, orang-orang yang terjerat kasus korupsi yakni yang punya pendapatan besar. Ia mengatakan, orang-orang yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini bukan orang yang tidak punya uang.

Tetapi banyak di antaranya para hakim, pejabat publik seperti gubernur, bupati/walikota sampai dengan anggota DPR/DPRD. Menurutnya, persoalan minimnya dana bantuan Parpol selama ini bukan menjadi penyebab pejabat publik korupsi. Tetapi ada ruang atau kesempatan yang leluasa dibarengi dengan kurangnya kontrol internal Parpol.

‘’Di samping juga faktor yang lain. Karena  ongkos politik kita memang cukup mahal. Untuk menjadi pejabat publik, menjadi  bupati/walikota atau gubernur,  butuh dana yang besar. Termasuk menjadi anggota legislatif baik DPRD dan DPR RI,” kata mantan Anggota KPU NTB ini.

Mahalnya ongkos politik, kata  Dosen Fisipol Universitas Muhammadiyah Mataram ini, menyebabkan orang berbuat korupsi di samping juga adanya keserakahan. Intinya, kontrol internal dari parpol yang dinilai masih kurang. Ia menyebut, mekanisme internal dalam parpol  masih tak berjalan sebagaimana mestinya.

Sehingga ada keleluasaan bagi orang-orang yang memiliki ambisi untuk melakukan penyelewengan. Darmanysah menambahkan, demokrasi internal dalam parpol belum terbangun dengan baik. Demokrasi internal itu mempersyaratkan bahwa sesungguhnya yang memiliki wewenang dan otoritas dalam partai adalah anggota partai.

“Cuma, sekarang ini nampaknya belum diberdayakan anggota partai. Anggota partai hanya  diperlukan sebatas sarana untuk mobilisasi suara menjelang Pemilu dan Pilkada. Tetapi setelah pemilu usai, yakni  anggota dewan terbentuk, kepala daerah terpilih, mereka dilupakan,’’ terangnya.

Peran anggota partai dalam pengambilan keputusan nyaris tak terdengar. Mereka hanya dibutuhkan setiap lima tahun sekali atau menjelang Pemilu dan Pilkada. Setelah Pemilu atau Pilkada usai, kantor Parpol nyaris tutup atau nyaris tak ada hubungan lagi dengan pemilihnya.

‘’Ketika menjelang Pemilu memang diposisikan sangat tinggi sebagai raja. Setelah Pemilu usai, nampaknya ini sudah tak ada lagi dibutuhkan dalam pengambilan keputusan  di internal partai,’’ katanya.

Lantas kenaikan dana bantuan Parpol ini hanya menghabiskan anggaran? Darmansyah menyatakan yang menjadi pertanyaan sejauhmana peningkatan dana bantuan itu dirasakan manfaatnya oleh para pemilih. Semestinya, jika ada peningkatan dana  bantuan Parpol, maka seharusnya para pemilih  akan merasakan secara langsung manfaatnya.

“Jangan sampai peningkatan itu kemudian hanya dinikmati segelintir politisi yang tadinya sudah menikmati manfaat dai kegiatan-kegiatan politik yang ada, yang mereka menjadi anggota legislatif, kepala daerah dan seterusnya. Semakin menambah pundi-pundi mereka. Jangan sampai seperti itu,” ujarnya mengingatkan.

Masyarakat berharap, kenaikan dana bntuan Parpol itu jangan sampai semakin menambah berbagai fasilitas yang diterima para politisi.  Menurutnya, kenaikan dana bantuan Parpol harus diprioritaskan untuk kegiatan kaderisasi dan pemberian pendidikan politik. Sehingga para pemilih semakin cerdas. Kesadaran dan rasionalitas politik semakin tinggi. Bukan semata-mata memilih karena pertimbangan emosional. (nas)