Kasus Penataan Kawasan Wisata Lobar, IJ Didakwa Minta Fee 8,5 Persen

0
Kadispar Lobar nonaktif terdakwa korupsi fee proyek penataan kawasan wisata, IJ (tengah) berjalan meninggalkan ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram usai menjalani sidang perdana, Rabu, 11 Desember 2019. (Suara NTB/why)

Mataram (Suara NTB) – Kadis Pariwisata Lombok Barat nonaktif IJ menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram, Rabu, 11 Desember 2019. IJ didakwa meminta fee Rp185 juta dari tiga proyek kawasan wisata di Lombok Barat. Setiap kontraktor dimintai setoran 8,5 persen dari total nilai proyek.

Jaksa penuntut umum Kejari Mataram Lalu Julianto membacakan dakwaannya di hadapan majelis hakim yang diketuai Sri Sulastri. Jaksa mengajukan dakwaan pasal 12e, 12b, dan 11 UU No20/2001 tentang perubahan atas UU RI No30/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Terdakwa menyatakan bahwa saksi-saksi harus menyerahkan fee sebanyak 8,5 persen dari nilai kontrak proyek. Terdakwa menyebut semua dinas juga menerima 8,5 persen untuk menekan saksi-saksi,” Julianto.

Fee itu terkait tiga proyek paket pekerjaan dana DAK Lombok Barat. antara lain penataan kawasan Sesaot senilai Rp1,065 miliar; penataan kawasan Buwun Sejati Rp1,090 miliar; dan penataan kawasan Pusuk Lestari senilai Rp1,588 miliar.

Hal itu diutarakan terdakwa IJ seusai pertemuan prakontrak pada Agustus lalu. IJ meminta pejabat pembuat komitmen (PPK) I Gede Aryana Susanta untuk mengundang saksi direktur kontraktor ke ruang kerjanya.

Yakni Direktur CV Tiwikrama Erwan Darwanto pelaksana proyek Sesaot, Direktur CV Big Bang Topan Apriantara pelaksana proyek Buwun Sejati, dan Direktur CV Titian Jati  Muhammad Tauhid pelaksana proyek Pusuk Sembalun. Fee proyek mulai disetora September. Namun, kontraktor hanya bisa memenuhi 6 persennya saja.

“Sehingga saksi Topan menyerahkan sebesar Rp63 juta dari nilai proyeknya Rp1,065 miliar kepada terdakwa melalui PPK,” kata Julianto.

Dia menambahkan, IJ memerintahkan lagi PPK untuk mengambil setoran dari Erwan, pelaksana proyek Buwun Sejati Rp1,090 miliar. “Saksi Erwan hanya menyerahkan sebesar Rp50 juta sisanya saksi mengatakan masih akan mengusahakannya,” terangnya.

Negosiasi agak alot untuk setoran dari Tauhid yang berkeras tidak mau menyanggupi. Alasannya, proyek Pusuk Lestari memiliki medan yang menantang sehingga tidak bisa disisihkan biaya pengerjaannya untuk keperluan setoran fee.

IJ mengutarakan kekecewaannya dengan menyebut dirinya tidak senang karena Tauhid yang memenangkan lelang proyek. Padahal Tauhid menawar proyek itu dengan nilai yang paling rendah. IJ kembali meradang.

“Kembali terdakwa mengatakan, ‘Kamu sih bodoh kenapa penawarannya rendah,” beber Julianto menirukan jawaban IJ dalam menanggapi penolakan Tauhid.

Masih dikatakan Julianto, IJ bahkan menyinggung kejadian lama dengan mengatakan Kakak Tauhid yang mendapat proyek miliaran cuma bisa menyetor Rp14 juta.

“Mendengar itu, saksi Tauhid sakit hati dan tidak sanggup mendengarnya dan langsung ke luar ruangan terdakwa,” terangnya.

Sampai kemudian, dua proyek lain sudah dilakukan pembayaran termin. Tinggal Tauhid yang belum ditandatangani. Sebabnya, belum menyerahkan setoran ke IJ.

Tauhid kerepotan karena dirinya sudah mengeluarkan tambahan biaya mengangkut material dan air. Tetapi, Tauhid tetap menemui IJ lagi.

“Selanjutnya, terdakwa menyampaikan masing-masing rekanan telah menyerahkan fee sebesar 6,5 persen. Namun saksi Tauhid tetap merasa keberatan dengan fee tersebut. selanjutnya terdakwa mengatakan, Ya sudah 5 persen ya, secepatnya,” tutur Julianto.

Nilai fee akhirnya deal. Tauhid lalu mendapatkan tanda tangan pencairan termin pertama dari IJ. Beberapa hari kemudian, Selasa, 12 November 2019, Tauhid datang mengantarkan Rp72 juta ke ruangan IJ. Tepat sepekan kemudian, tim Kejari Mataram menggerebek IJ di ruang kerjanya.

Julianto mengatakan, tim jaksa menemukan uang tunai Rp73,5 juta dalam amplop yang disimpan dalam tas ransel di ruang rapat kepala dinas. Ditemukan juga dua amplop lain masing-masing berisi Rp5 juta, dan tas kresek yang berisi uang tunai Rp15,35 juta.

Dia menambahkan, terdakwa memaksa tiga rekanan menyerahkan uang. Rekanan takut apabila tidak menyerahkan maka akan dihambat untuk termin selanjutnya.

Perbuatan itu dalam rangka untuk menguntungkan diri terdakwa. “Tiga rekanan memberikan uang dengan terpaksa sejumlah Rp185 juta,” imbuh Julianto.

Menanggapi dakwaan itu, penasihat hukum terdakwa Ispan, Lalu Sultan Alifin menyatakan akan mengajukan nota keberatan. “Kami minta eksepsi,” ujarnya. Selanjutnya, sidang ditunda selama sepekan. (why)