Giri Menang (Suara NTB) – Sejumlah Kepala Desa (Kades) di Lombok Barat (Lobar) menolak kebijakan Pemkab Lobar memotong Alokasi Dana Desa (ADD). Hal itu akibat dari pemangkasan Dana Alokasi Umum (DAU) pusat, dampak dari Covid-19. Berimbas pada rasionalisasi anggaran APBD yang dilakukan Pemkab Lobar. Kebijakan pemotongan 10 persen ADD itu mulai berlaku pada Juli mendatang berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup) 21 tahun 2020.
Surat pemberitahuan terkait pemotongan itu sudah disampaikan kepada pemerintah desa. Isi surat dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Lobar menerangkan total rasionalisasi anggaran ADD itu sekitar Rp7,4 miliar. Dari awalnya sekitar Rp85 miliar lebih, menjadi sekitar Rp77 miliar.
Penolakan pemotongan ADD itu disampaikan Ketua Forum Kades Kuripan yang juga Kades Kuripan, Hasbi. Ia yang selalu mendukung kebijakan Pemkab justru menilai pemotongan ADD desa itu tidak layak dilakukan. “Jangan kita pro sama kebijakan Pemkab, tapi kalau kita disakiti begini (mau dipangkas),” tegasnya, pada Jumat 26 Juni 2020.
Menurutnya, ADD yang dipotong di desanya sebesar Rp64 juta. Dampak pemotongan itu membuat rencana pembangunan kantor desa di tahun ini batal dilakukan. Padahal pembuatan kusen sudah dilakukan. “Kalau itu terpotong, kan saya harus mengganti biaya kusen itu. Persoalannya kita sudah cairkan di termin pertama, dong ngutang saya,” keluhnya.
Pihaknya menyayangkan, pihak Pemkab Lobar yang tidak menyampaikan permasalahan pemotongan itu sejak awal pandemi Covid-19. Karena pihaknya hanya berpikir pemotongan hanya terjadi di Dana Desa, sehingga desa masih bernafas lega dengan adanya ADD. Meski demikian ia memberikan solusi kepada Pemkab untuk lebih baik melakukan pemotongan dana pokok pikiran (Pokir) Dewan. Sebab jumlahnya cukup besar. “Harusnya Pemkab ini jeli melihat,” sarannya.
Pihaknya pun berencana bersama kapala desa lain melakukan pertemuan ke DPRD Lobar. Agar permasalahan pemotongan ini bisa mendapat solusi.
Hal senada disampaikan Kepala Desa Babussalam, M. Zaini. Ia menegaskan pemotongan ADD itu justru membuat anggaran menjadi minus untuk pembayaran penghasilan tetap (Siltap) perangkat dan staf desa. Jumlah ADD-nya yang dipotong mencapai Rp48,38 juta. Dari awalnya ADD murni sekitar Rp776 juta menjadi Rp727 juta. Diakuinya, untuk pembayaran Siltap biasanya dianggarkan sekitar Rp731 juta. Terdapat beberapa insentif perangkat desa yang tak bisa dibayarkan.
“Yang tidak terbayarkan insentif, penghulu terus pembinaan, operator, ATK kantor, penjaga kantor, sudah tidak ada dah itu pembayarannya. Minus anggaran kami,” keluhnya.
Menurut Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKAD) Lobar itu, pemotongan terjadi di seluruh desa di Lobar dengan jumlah bervariasi. Namun pihaknya mempermasalahkan besaran penetapan pemotongan ADD itu sebesar 10 persen. Karena tidak semua desa memiliki jumlah dusun yang sama.
“Misalnya di desa A itu cuma empat atau lima dusunnya, tapi kami (di Desa Babussalam) 11 dusunnya, itu kan habis pembayaran gaji itu. Terlebih ada penyetaraan golongan 2A (kebijakan pemerintah), makanya anggaran kami menjadi minus,” jelas M. Zaini. Pihaknya berharap agar Perbup itu dibatalkan dan jangan diberlakukan.
Sementara itu, Kabid Pemdes, Kesuma Supake mengatakan memang pihaknya mendapatkan pagu di Perbup terdapat pengurangan sebesar Rp7 miliar lebih, sehingga berdampak terhadap jatah ADD bagi masing-masing desa menjadi berkurang. Namun masih ada celah untuk komunikasi dengan BPKAD agar ADD tidak dirasionalisasi. “Itu masih kami bicarakan dengan BPKAD agar jangan dirasionalisasi ADD,” imbuhnya.
Ia menambahkan, pagu anggaran secara keseluruhan sebesar Rp62 Miliar lebih. Kalaupun ADD dipangkas, menurutnya tidak sampai berpengaruh terhadap pembayaran gaji atau Siltap Kades, perangkat desa, dan Kadus. Karena yang dipangkas merupakan insentif kades, kader, RTRW, dan guru ngaji. (her)