Inovasi Udin Mendunia, Sampah Plastik Bukan Lagi Barang Berbahaya

0

Tanjung (Suara NTB) – Plastik umumnya identik dengan limbah. Proses urai yang membutuhkan masa 100 tahun, membuatnya menjadi masalah berkepanjangan bagi masyarakat, bahkan pemerintah suatu negara. Kini dengan inovasi baru, sampah pun bisa diolah dan bernilai ekonomi tinggi. Bagaimana caranya?

Enam bulan terakhir, Udin – Sapaan akrab Sabarudin, mengumpulkan satu per satu botol bekas dan sampah plastik. Sebagai pengusaha transportasi penyeberangan 3 Gili, tentu ia tak menghimpun sampah dan botol bekas secara manual. Melainkan ia membeli botol mineral yang telah berisikan sampah plastik di dalamnya.

Sejak pertama memperoleh inspirasi pengendalian sampah plastik dari seorang Bule asal Amerika, ia secara sabar menghimpun botok bekas. Ditawarkan kepada warga di Gili Meno dan wilayah Kecamatan Pemenang, untuk menjual sampah plastik yang dimasukkan dalam botol. Ia menghargainya Rp 2 ribu per botol.

“Secara tidak langsung, dengan membeli sampah dan botol bekas akan menciptakan lapangan kerja. Sampai saat ini, saya sudah menghimpun kurang lebih 12 ribu botol, dan saya butuhkan masih banyak lagi untuk menembok,” ungkap Udin kepada Suara NTB, Minggu, 7 Mei 2017.

Apa yang dilakukan Udin sebenarnya amatlah sederhana. Namun sejak masalah sampah menghantui kawasan pariwisata 3 Gili, pola sederhana ini terkesan belum terpikirkan. Kreativitas ini ternyata sangat disukai oleh wisatawan mancanegara baik dari Amerika maupun Eropa.

Ketua Koperasi Karya Bahari – Bangsal, Pemenang ini mengakui, awalnya hanya mendapat cerita. Salah satu pengunjung asal Amerika yang menginap di vila miliknya di Gili Meno, curhat mengenai cara mengatasi sampah. Metode penanganan sampah ini bukan hal yang baru, tetapi – konon, telah diinisiasi dan diterapkan lebih dulu oleh masyarakat di salah satu kawasan di Yogyakarta. Bekal cerita turis itulah, ia mulai menerapkan solusi ampuh pengendalian sampah tersebut.

“Saya kira solusi sampah seperti ini bisa diterapkan untuk 3 Gili. Mudahan Pak Gubernur dan Pak Bupati memberi atensi untuk disebarluaskan sehingga menjadi satu kebijakan,” harapnya.

Udin prihatin, pola penanganan sampah belum menyentuh ke arah efektivitas hasil. Karena selama ini, sampah hanya dipindah dari runah tangga/hotel ke TPA, selanjutnya di TPA sampah kadang dibakar. Meski tak memiliki ilmunya, namun berdasarkan cerita para turis, Udin mengetahui bahwa dampak sampah plastik tidak baik apabila dibakar. Dijual pun tidak laku.

Alasan inilah, ia mencoba beksperimen memasukkan satu per satu sampah plastik ke dalam botol air mineral. Setiap botol mineral (1600 ml), diisi penuh sampah plastik hingga padat. Setiap botol beratnya sekitar 3 ons. Oleh karena ia ingin memulai “proyek” penembokan rumah pribadinya di Gili Meno, ia pun mengumumkan ke warga Pemenang agar menjual botol berisi sampah plastik seharga Rp 2 ribu. Untuk botol tanggung harganya antara Rp 1.000 – Rp 1.500 per botol.

“Saya coba pasang ditembok rumah untuk pagar, ternyata hasilnya bagus. Wisatawan dan masyarakat tertarik, karena kesannya unik. Tembok jadi berwarna warni oleh warna plastik,” lanjutnya.

Untuk diketahui, tembok yang digarap Udin di Meno panjang sekitar 50 meter dan tingginya bervariasi antara 2 meter hingga 2,5 meter. Sejak menembok, ternyata 12 ribu botol belum cukup. Ia masih membutuhkan ribuan botol lagi, karena tidak hanya pagar rumah, ia pun berencana membangun beberapa kamar vila dengan eksterior dan interior botol plastik bekas.

“Saya mau tunjukkan ke orang-orang, bahwa cara ini mungkin yang paling efektif. Kita bisa menjaga alam dan lingkungan dengan tidak merusak alam. Harapan saya pemerintah memiliki tindak lanjut dari cara ini,” pungkasnya. (ari)