Idris Sahidu Nominator Kalpataru 2020, Selamatkan Mata Air Hutan Gunung Pemanto Datu

0

Nama Idris Sahidu mungkin asing di telinga masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) maupun NTB. Namun di kampungnya di desa Maluk, kecamatan Maluk, pria berumur 66 tahun ini dikenal sebagai pahlawan lingkungan. Tahun ini, ia masuk sebagai nominator penerima Kapataru atas kiprahnya menyelamatkan banyak sumber mata air yang terancam rusak akibat tangan manusia lain di sekitar lingkungannya.

Oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, tahun 2020 ini, Idris Sahidu dimasukkan dalam kategori ‘Perintis Lingkungan’ sebagai nominator penerima Kaplataru. Di nominasi ini, dirinya bersaing dengan 6 nominator lainnya dari berbagai daerah di Indonesia yang memiliki semangat sama dengannya yakni memastikan lingkungan Nusantara tetap lestari.

“Saya sebenarnya tidak mengejar apa pun dari usaha saya selama ini. Tapi kita
jalani saja (proses nominasi Kalpataru 2020),” katanya santai saat Suara NTB men-
gunjungi kediamannya di desa Maluk, awal pekan lalu.

Ia pun berkisah awal mula dirinya terjun berkonsentrasi berjuang menyelamatkan
mata air di kampungnya. Ayah Idris, sapaan akrabnya, menuturkan, persisnya ia memulai di KSB sekitar tahun 1997 saat pertama kali menginjakkan kaki di SP II Tongo, kecamatan
Sekongkang. “Saya ini pendatang dariBima. Tujuan saya memang mau menyelamatkan lingkungan karena saya tahu di sini ada tambang yang artinya pasti ada kerusakan (lingkungan),” cetusnya.

Saat kedatangannya tersebut, selama beberapa waktu, Idris melakukan observasi ter-
hadap ekosistem hutan di sekitar tambang. Ia sengaja melakukannya sebab menurut keyakinannya, sekecil apa pun perubahan lingkungan ada bagian ekosistem yang pasti terganggu. Dan bagian ekosistem itu adalah sumber mata air yang menjadipenopang dari seluruh rangkaian ekosistem hutan itu sendiri.

“Saya lihat banyak pohon yang mati. Dan paling miris hewan-hewan seperti monyet
kehilangan tempat minumnya.Sehingga saya meyakinkan diri bahwa yang perlu saya
selamatkan adalah sumber mata airnya,” ujarnya seraya menambahkan semangatnya
semakin tinggi karena percaya dengan janji Allah.

“Saya pegang konsep sedekah. Bahwa (barang) sedekah yang paling baik itu adalah air.
Dan hitungannya saya lewat ini saya sedang bersedekah dengan semua makhluk Allah yang ada di hutan sana,” sambung Idris.

Meski pertama kali memulai di SP II Tongo, Idris pada akhirnya lebih fokus di kecama-
tan Maluk di gugusan hutan bukit gunung Pemanto Datu. Pertimbangannya, di sana itu jumlah titik mata air yang hilang tehitung banyak. Serta kehidupan masyarakat di wilayah setempat yang didominasi pendatang diyakini Idrus tidak memiliki kepekaan terhadap
kondisi lingkungannya. “Di sini (Maluk) warganya heterogen. Banyak pendatang. Mereka mana urus lingkungan. Jadi saya putuskan fokus di sini. Tapi tetap di wilayah lain saya perhatikan juga,” tegas ayah empat anak ini.

Dari hasil observasinya tersebut, perlahan Idrus mulai menyusun rencana aksi penyelamatannya. Ia menyampaikan, aksi lapangannya dalam menyelamatkan mata air selama ini cukup sederhana. Sama dengan yang banyak orang lain lakukan adalah dengan cara menanam pohon di sekitar sumber mata air.

Ia juga membarengi usahanya tersebut dengan memanfaatkan teknologi sederhana. Baik itu hasil ciptaannya sendiri maupun dari hasil belajarnya terhadap beberapa metode
penyelamatan mata air yang sudah dilakukan umum bany-
ak orang. “Menanam pohon itu semboyan saya hanya satu.Yaitu menanam tanpa menebang. Kalau hutannya hijau insyaallah mata airnya juga
pasti terjaga,” yakinnya.

Selanjutnya cerita Idris, perjuangannya menyelamatkan sumber mata air itu tidak sela-
lu berjalan mulus. Di awal, ia benar-benar bekerja sendiri dengan hanya dibantu sang is-
tri tercintanya Hanisyah. Bahkan kenang dia lagi, kala itu ia lebih banyak pergi menanam pohon secara sembunyi-sembunyi karena khawatir akan dianggap menentang keberadaan tambang oleh masyarakat.

“Dulu awal-awal saya sering jalan subuh ke hutan. Bersama istri saya pura-pura cari ikan di sungai. Tapi tujuan saya pergi tanam pohon. Nah sekarang sudah ada yang bantu, kita ada kelompok namanya Kelompok Tani Hutan (KTH) Swadaya Gunung Pe-
manto Datu,” bebernya.

Keteguhan Idris dalam menyelamatkan lingkungan khususnya sumber mata air memang sekokoh baja. Selain tenaga dan pikiran, materi milik pribadinya pun ia rela korbankan.Puluhan tahun ia menanam satu per satu pohon, diakuinya lebih banyak dibiayainya dengan merogoh sakunya sendiri.

“Beberapa tahun terakhir sudah ada dapat bantuan setelah ada kelompok. Tapi dulu saya (biaya) sendiri. Alhamdulillah uangnya dari saya buka pengobatan alternatif,” tukasnya.

Idris memiliki harapan sederhana jika pada akhirnya dirinya dinobatkan sebagai salah satu penerima anugrah Kalpataru tahun 2020 ini. Pria kelahiran Bima, tahun 1954 ini berharap apa yang dilakukannya dapat diteruskan oleh generasi muda lainnya. Sebab satu-satunya cara efektif menyelamatkan lingkungan dengan turun langsung beraksi di lapangan tanpa henti. “Apa yang

saya sudah lakukan atau apapun (penghargaan) yang saya dapatkan dari sini, generasi
muda ke depan tolong jadikan motivasi tiada henti melestari kan lingkungan untuk anakcucu kita,” imbuhnya. (bug)