Mantan Kepala Kemenag Bima Didakwa Korupsi Rp615,6 Juta

0
Mantan Kepala Kemenag Kabupaten Bima, H Yaman (kanan) mendengarkan dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum, Wayan Suryawan (kiri), tentang korupsi pemotongan gaji guru honorer RA/madrasah terpencil. (Suara NTB/why)

Mataram (Suara NTB) – Tiga mantan pejabat Kemenag Bima H Yaman H Mahmud, H Irfun dan Fifi Faridah didakwa korupsi yang merugikan negara Rp615,6 juta. Mereka didakwa memberikan 42 guru honorer gaji yang bukan haknya. Selain itu gaji untuk tahun 2010 juga dipotong.

Jaksa penuntut umum Wayan Suryawan menjelaskan bahwa Kementerian Agama RI pada tahun 2010 menggelontorkan Rp648 juta. Anggaran itu untuk pembayaran tunjangan khusus bagi guru raudlatul athfal/madrasah non PNS lingkup Kemenag Kabupaten Bima.

Hal itu diungkapkannya dalam surat dakwaan yang dibacakan di hadapan majelis hakim yang diketuai Anak Agung Ngurah Rajendra, pada persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Mataram.

Terdakwa Yaman mantan Kepala Kemenag Kabupaten Bima, meneken SK penerima. Penerima tunjangan itu merupakan guru dengan syarat, lokasi sekolah di daerah terpencil, berbatasan dengan negara lain, sedang dilanda bencana alam, dan dilanda konflik sosial.

Awalnya jumlah guru non PNS penerima tunjangan ditetapkan sejumlah 25 orang. “Ketentuannya masing-masing guru mendapatkan Rp8,1 juta pada tahap I untuk Januari sampai Juni 2010,” kata Wayan.

Berkas para guru penerima itu diverifikasi H Irfun sebagai pengarah dan Fifi Faridah sebagai Sekretaris. Sedangkan ketua tim verifikasi yakni H Jufri serta anggota Ikhsan dan M. Syarifudin.

Selanjutnya, pada 31 Agustus H Yaman mengubah data guru non PNS berdasarkan usulan dari tim verifikasi. Dari jumlah awalnya 25 orang menjadi 40 orang. Gaji guru terpencil itu dibayarkan pada 9 Desember. Totalnya Rp445 juta.

Namun pelaksanaan program tersebut bermasalah. Pada saat penyaluran pembayaran kepada 25 penerima, mereka dipanggil satu per satu ke Kemenag Kabupaten Bima. Para guru menerima uang yang sudah dimasukan ke dalam amplop dan diminta tanda tangan daftar tanda terima.

“Namun, faktanya jumlah yang diterima tidak sama dengan nilai yang ada dalam daftar terima. Bahwa terjadi pemotongan tanpa dasar dan secara sepihak dengan maksud memperoleh keuntungan pribadi,” terangnya.

Selain itu, dari jumlah penerima yang awalnya 25 orang bertambah menjadi 42 orang. Penambahan guru non PNS yang mendapat tunjangan khusus itu tanpa melalui proses verifikasi menurut aturan.

“Bahwa akibat yang ditimbulkan dari perbuatan para terdakwa telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp615,6 juta sebagaimana audit BPKP Perwakilan NTB,” tandasnya. (why)