Hindari Kekerasan, Kolaborasi Sekolah dan Orang Tua Mesti Dilakukan

0

Mataram (Suara NTB) – Kekerasan yang terjadi di sekolah seharusnya tidak mesti terjadi.  Baik yang dilakukan oleh guru atau siswa, terlebih lagi oleh orang tua siswa yang menitipkan anaknya untuk dididik di sekolah. Tren kekerasan belakangan ini semakin sering terjadi.

Pengamat pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM), Syafril, S.Pd., M.Pd., Rabu, 7 Februari 2018 mengatakan, tren kekerasan yang terjadi belakangan di sekolah merupakan kondisi ironis yang berulang kali terjadi di dunia pendidikan.

Kasus terbaru, ada dugaan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua murid kepada seorang guru di SDN 4 Rarang, Kecamatan Terara.

“Yang seharusnya tidak mesti terjadi di dunia pendidikan ada tindakan kekerasan, baik yang dilakukan oleh guru atau siswa, lebih-lebih orang tua siswa yang menitipkan anaknya dan mengiklaskan anaknya dididik di sekolah,” sesalnya.

Syafril menjelaskan, kondisi ini menggambarkan tanggung jawab pendidikan oleh orang tua siswa belum berjalan. Beberapa kasus membuktikan orang tua tidak bertanggung jawab mendidik anak. “Artinya, kolaborasi antara pihak sekolah dan pihak orang tua siswa tidak berjalan dengan baik,” jelasnya.

Mantan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMM ini menambahkan, ada problem dip roses pendidikan, yang disinyalirnya karena  berorientasi pada kuantitas. Ia menilai pemerintah selama ini dalam membangun keluaran pendidikan cenderung kuantitatif,atau yang dimaksud sebagai ranah kognitif.

Padahal menurutnya, di konsep pendidikan, evaluasai dilakukan pada tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Namun, masalahnya,. Satu-satunya indikator yang cenderung digunakan adalah kognitif.

“Kalau dia (siswa) UN baik, kalau secara sikap menunjukkan sikap tidak baik, itu bisa lulus. Ini paradigma yang harus diubah, yang harus ditonjolkan aspek koginitif dan afektif harus berjalan beriringan. Kalau beriringan pasti pendidikan kita akan mengarah pada perbaikan,” sarannya.

Ia juga memandang selama ini pendidikan dominan mentransfer pengetahuan atau transfer of knowledge, sementara yang juga diperlukan adalah mentransfer nilai atau transfer of value melalui keteladanan.

Masalah lainnya, Syafril menyoroti guru yang tidak terlalu berani melakukan tindakan sanksi. Padahal dalam konteks psikologi pendidikan, sanksi itu adalah suatu yang wajar. “Artinya ada model pemberian penghargaan, ada juga berupa sanksi yang wajar. Itu yang mesti dipahami oleh masyarakat luas,” katanya.

Di sisi lain, ada problem di level lingkungan sosial di mana anak itu bergaul. Menurutnya, anak akan cenderung menjadi orang jahat kalau berada di lingkungan orang jahat. “Kalau terbiasa berada di lingkungan keras, cenderung akan menjadi keras, kita lihat anak yang melakukan kekerasan, di lingkungan mana dia,” ujarnya.

Ia menekankan, pendidikan mental karakter anak juga dibentuk melalui lingkungan sosial. Syafril memandang bahwa tiga lingkungan yaitu keluarga, masyarakat termasuk media sosial, dan sekolah mempengaruhi pendidikan mental anak.

“Tiga lingkungan itu haruslah mampu mendorong generasi , anak yang sedang sekolah, bersama membangun keberadabannya, sikap yang beradab,” ujarnya.

Sebenarnya, katanya, yang dilupakan di Indonesia ini yaitu sikap beradab. Di sila kedua Pancasila, adab itu jarang dibahas, adil sering dibahas di banyak forum, begitu banyak penjelasan adil, tapi lupa membahas yang beradab.

“Itu menarik untuk dibahas, bagaimana membangun sikap beradab anak di lingkungan keluarga, masyarakat dan lingkungan sekolah,” pungkasnya. (ron)