Menemukan Puluhan Citarasa Kopi Lokal di Paradiso

0
Meracik puluhan citarasa kopi lokal di Wangi-wangi De Ngupi, Paradiso Mataram.

Mataram (suarantb.com) – Paradiso adalah tempat tongkrongan legendaris di Kota Mataram. Letaknya di Jalan Catur Warga, tepatnya di Angsoka Nomor 3 Mataram. Disinilah kita bisa menjumpai puluhan citarasa asli kopi NTB. Dari sini juga, para pegiat kopi membangun mimpi menduniakan emas hitam NTB ini.

Bicara kopi, berarti bicara tentang dunia. Karena hampir seluruh penjuru negeri, kopi bukanlah komoditas asing. Kopi bahkan telah menjadi komoditas penting bagi suatu negara hingga melakukan penjajahan kepada bangsa lain.

Di NTB, jejak-jejak penjajahan juga masih tersimpan sejarahnya di sebuah kawasan kopi di Oi Bura, di Tambora, Dompu. NTB juga potensial sebagai daerah penghasil kopi kualitas dunia.

Di Indonesia, tak banyak daerah penghasil kopi. Karena ia tumbuh di tempat-tempat tertentu. NTB beruntung, menjadi daerah penghasil kopi. Jenisnya kopi robusta dan arabika adalah kekayaan lokal yang belum terkelola dengan baik. Sayangnya lagi, sampai saat ini, kopi NTB belum menasional. Orang hanya familiar dengan kopi dari daerah-daerah tertentu. Sebut saja kopi Gayo dari Sumatera. Atau kopi Kintamani dari Bali.

Lalu dimana kopi NTB? berangkat dari keprihatinan inilah, DR. Paradiso di sulap menjadi pusat kopi. Tempat dimana kita bisa menikmati kopi, dengan puluhan citarasa. Para pegiatnya membangun kekuatan dari sini, mempromosikan kopi NTB ke dunia internasional. Mereka adalah Qwadru Putra Wicaksono, dan H. Yudistira Capriyadi.

Dari sebuah sudut, dibuat tempat meracik kopi. Seperti sebuah pojokan khusus tempat ngopi. Namanya Wangi-wangi De Ngupi (mari ngopi). Qwadru sebagai baristanya. Kopi-kopi yang di racik seluruhnya murni dari biji kopi lokal. Dari kopi Pengengat, Lombok Barat, Tepal Sumbawa Barat, Batu Rotok Sumbawa, ada juga dari Sajang dan Sembalun di Lombok. Dan banyak lainnya. Tidak diperkenankan kopi luar.

Qwadru bisa meracik beragam citarasa kopi. Tergantung selera pemesan. Kopi murni juga dapat dinikmati panas, bisa juga dingin. Tergantung pemesan. Menikmati beragam citarasa kopi di Paradiso, seperti membuka mata kita akan kekayaan sumber daya alam yang kita milik di Bumi Gora ini. Sayangnya, pengembangan kopi di daerah ini justru terkesan sebelah mata.

Tiga tahun lebih, Qwadru telah mengeksplorasi tanah-tanah tempat tumbuhnya pohon kopi. Dari ujung barat, sampai ujung timur NTB. Dari sanalah ia menjumpai potensi pengembangan kopi yang cukup besar di NTB.

Kopi NTB menurutnya memiliki citarasa yang beragam. Satu kawasan, bisa menghasilkan citarasa yang berbeda-beda. Bahkan satu pohonpun, bisa menghasilkan citarasa yang berbeda. Qwadru adalah mantan pegawai di Kementerian PDT. Ia memilih pensiun dini. Beberapa tahun terakhir, ia fokus mendalami tentang kopi. Berbagai literature ia pelajari. Sambil terus berpetualang mengeksplorasi kopi NTB.

Ia telah bertemu dengan banyak petani kopi, kelompok-kelompok tani kopi. Merasa prihatin, karena nama kopi NTB justru tak menasional.  Bahkan yang merajai di NTB adalah kopi-kopi sachetan yang bahan bakunya entah di datangkan dari mana.

Qwadru awalnya bukan pecinta kopi. Tetapi perokok. Lagi-lagi dari keprihatinan atas tenggelamnya kopi NTBlah yang membuatnya menjadi pegiat kopi. Banyak persoalan yang ditemui di lapangan. Terutama soal keterbatasan kemampuan petani-petani kopi melakukan budidaya. Hanya seadanya. Sehingga kualitas kopi yang dihasilkan hanya seadanya.

Padahal, menjadi petani kopi menurutnya ibarat menjaga perempuan yang harus dibedak, di gincu dan di rawat sehingga ia menjadi cantik. Demikian juga kopi, tidak bagus batangnya berlumut, atau bersemut, apalagi bersemak. Faktor-faktor itulah yang mempengaruhi kualitas kopi dan citarasa yang dihasilkan.

Boleh di tanam tumpang sari dengan pohon lain. Misalnya pohon buah. Karena dengan tumpang sari, citarasanya juga akan mempengaruhi. Misalnya, tumpang sari dengan durian, rasa kopinya beraroma durian. Tumpang sari dengan tumbuhan rempah-rempah, rasanya kopinya beraroma rempah-rempah.

Satu rasa yang juga unik, kopi beraroma nangka. Di sebuah kawasan kopi di Oi Bura, Tambora Dompu, Qwadru menemukan kawasan kopi bekas penjajahan Belanda. Kopi khas ini menurutnya cerita masyarakat setempat yang dijumpainya, dulu Belanda membuatnya kawasan khusus, petaninya tidak sembarangan. Dan penikmatnya juga tak sembarangan. Bekas-bekas gudang kopi dan peralatan Belanda juga masih bisa dijumpai. Sebagai bukti sejarah, NTB dulunya daerah jajahan untuk dikuasai kopinya.

“Artinya, kita tidak saja menjual kualitas dan citarasanya. Kita bisa menjual historisnya,” kata Qwadru.

Selama melakukan eksplorasi, ia juga transfer ilmu pengetahuan tentang kopi kepada petani-petani kopi. Terbukti, di tahun kedua, cara petani berbeda memperlakukan pohon kopinya. Dari cara menanam, merawat, bahkan panen, bijih kopi yang dipanen juga diajarkan tak sembarangan. Demikian juga pengelolaan pascapanen. Transfer ilmu pengetahuan dilakukan.

Terbukti, di tahun kedua. Kerja-kerja petani yang didampinginya membuktikan dari sisi citarasa yang didapatnya. Kualitas kopi, kata Qwadru, ditentukan 55 persen dari proses di petaninya. 30 persen di pascapanen dan 15 persen di barista (peraciknya). Dari Wangi-wangi De Ngupi-lah ia sedang berusaha mengangkat marwah kopi NTB.

“Kita adalah daerah wisatawan. Kita bisa memperkenalkan kopi NTB kepada tamu-tamu kita dari luar negeri. Karena citarasa kopi kita tidak kalah dengan citarasa kopi yang sudah terkenal dari daerah-daerah lain. Hanya saja belum terlalu diperhatikan dari hulu ke hilir,” demikian Qwadru.

Yudistira Capriyadi menegaskan bahwa harus ada yang memulai mengangkat nama daerah melalui potensi kopinya. Paradiso dibuat sebagai tempat nongkrong, tempat menemukan kopi asli NTB dan kekayaan citarasanya. Serta tempat berpromosi.

“Kita siapkan jadi pusat oleh-oleh kopi. Dalam waktu dekat akan kita lauching,” demikian H. Yadi panggilan akrabnya di jumpai Selasa 16 April 2019 di Paradiso. (bul)