Harga dan Produksi Anjlok, Petani Mangga Bayan Kelimpungan

0

Tanjung (Suara NTB) – Musim produksi buah mangga kali ini sedikit kurang menggembirakan bagi petani mangga di Lombok Utara, khususnya di Kecamatan Bayan. Pasalnya, petani dan kelompok tani mangga dihadapkan pada fakta rendahnya harga beli mangga. Harga itu seakan anomali dengan hukum pasar, karena di sisi lain produksi mangga justru menurun.

Ketua Poktan Mangga Jaya Bayan, Desa Sukadana, H. Muksin, kepada Suara NTB, Kamis, 1 Desember 2016 mengutarakan petani mangga saat ini kurang begitu semangat saat panen. Produksi mangga pada areal Aplikasi Luar Musim menurun, begitu pula produksi yang tanpa aplikasi (tanpa perawatan) justru anjlok.

“Produksi di areal Off Season (luar musim) maksimal 5 ton per ha, sebelumnya di tahun 2015 saya pernah nimbang untuk semua areal sampai 1.000 ton lebih. Di luar aplikasi lebih parah, kebanyakan tidak berbuah,” papar Muksin.

Anjloknya produksi ini menjadi pengalaman tidak biasa yang ditemui para petani mangga. Muksin sendiri termasuk kelimpungan, terutama menghadapi musim perawatan off season yang akan datang. Di tengah minimnya persediaan buah mangga, ternyata harga yang terbentuk tidak lebih baik dari musim lalu di saat panen melimpah.

Muksin mengaku ia dan petani lainnya dipusingkan dengan modal awal untuk biaya aplikasi luar musim. Biaya pupuk dan obat -obatan relatif cukup mahal. Di areal 1 hektar, biaya yang dikeluarkan minimal Rp 5 juta.

“Sementara ini kita tidak tahu apa penyebabnya, padahal produksi di Jawa juga kurang, cuma harga di Lombok juga rendah. Saat ini per kg mangga cuma dihargai Rp 3.000,- sebelumnya bisa sampai Rp 10.000,- per kg,” paparnya.

Dibandingkan situasi tahun lalu, hitung-hitungan nilai ekonomis pendapatan petani mangga, tegas Muksin, jauh merosot. Bahkan termasuk rugi jika dikalkulasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi petani di luar musim panen.

Petani bahkan seolah tak punya alternatif penjualan dengan kondisi rendahnya nilai jual. Sebab kota Mataram yang diakui sebagai pangsa pasar terbesar, harga Mangga jauh lebih rendah yakni Rp 2.500,- per kg. Terpaksa pihaknya pun harus menjual mangga di gudang. Mangga asal KLU diangkut langsung ke Jakarta oleh pembeli.

Bukankah dulu pernah diujicobakan penjualan ke Australia? Bagaimana dampaknya?

Dituturkan Muksin, penjualan ke Australia pada kurun waktu 2015 menjadi pengalaman pahit petani mangga Bayan. Pembayaran komoditas mangga per kg-nya di luar kontrak awal. Di kontrak mangga sedianya dibayar Rp 10.000,- per kg, tapi kenyataannya dibayarkan hanya Rp 7.500 per kg. Padahal harga pembelian Pulau Jawa saat itu, Rp 10.000 per kg.

“Kerjasama dengan Unram dan Australia juga habis masa kontraknya. Harapan kami sebagai petani ke Pemda, agar program bantuan untuk obat-obatan dan pupuk diadakan kembali,” demikian Muksin.

Anggota DPRD KLU, Raden Nyakradi tak menyangkal kondisi itu. Pria asal Desa Sukadana yang juga memiliki areal produksi Mangga ini mengaku petani Mangga agak lesu menghadapi musim perawatan off season berikutnya. Minimal biaya perawatan Rp 5 juta harus disiapkan petani per hektarnya. Dana itu antara lain untuk biaya pemangkasan, biaya pembelian pupuk dan pemupukan, obat perangsang, dan pengairan. Setelah memasuki masa berbunga, petani kembali harus melakukan pengocoran obat pada batang serta pemberian obat perangsang bunga agar tidak mudah rontok.

“Memang benar produksi menurun, saya saja hanya dapat 1 ton per hektar. Syukur-syukur bisa menutup biaya produksi,” katanya.

Mangga Lombok Utara sejatinya potensial untuk dikembangkan dan menjadi ikon bagi daerah. Alasannya, dengan topografi wilayah lahan kering, jenis mangga yang dihasilkan petani Bayan berbeda. Jenis buahnya besar, tahan lama (tidak cepat busuk), rasa manis dan aromanya harum. Kelemahannya kadang hanya pada warna kematangan. Mangga KLU banyak matang meskipun tekstur buah berwarna hijau. Tren di luar yang disukai konsumen kebanyakan berwarna, kuning dan kuning kemerahan.

“Harapan kita dulu bisa tembus pasar Singapura, tetapi melihat respon ujicoba pengiriman Australia tidak sesuai, petani akhirnya berpikir mengandalkan pasar Pulau Jawa. Sayangnya, pengiriman ke luar belum didesain sehingga mangga KLU yang dikirim tanpa merk,” ujar Nyakradi sembari berharap Pemkab mulai memikirkan kemasan mangga. (ari)