Indeks Pencemaran Sungai Jangkok Tergolong Berat

0

Mataram (Suara NTB) – Riset World Wildlife Fund (WWF) Region NTB menemukan, Sungai Jangkok, Ampenan, Kota Mataram tergolong mengalami pencemaran parah. Sejalan dengan penjelasan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, pencemaran disebabkan limbah domestik yang memicu bakteri e.coli.

Studi yang pernah dilakukan WWF NTB, menganalisa tentang pengaruh penutupan lahan terhadap kualitas air pada Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Jangkok, Ampanen yang memiliki utilitas tinggi dan diduga rawan terhadap pencemaran.

Parameter hasil analisis fisik kimia perairan dapat menunjukan Indeks Pencemaran (IP). Sedangkan hasil analisis biologi perairan menghasilkan kualitas biologi perairan. Kualitas biologi perairan ditentukan dengan metode Family Biotik Index (FBI), Bisel Biotic Index (BBI), dan Biological Monitoring Working Party (BMWP) berdasarkan hasil identifikasi makrozoobentos.

’’Hasil-hasil pengamatan Indeks Pencemaran (IP) pada beberapa stasiun pengamatan yang terdistribusi dari wilayah hulu, tengah dan hilir. Mulai dari jalur hulu Keling, jalur Sayang- Sayang, jalur Sutomo, jalur Udayana dan jalur hilir di Ampenan,’’ kata Direktur WWF Region NTB, Ridhan Hakim kepada Suara NTB, Sabtu, 21 Juli 2018.

Di empat stasitun pengamatan ditemukan IP Kelas I antara 6,43 – 15,99, IP Kelas II antara 3,99 -12,39, IP Kelas III antara 6,26 – 11,35 dan IP Kelas IV adalah 2,67 – 11,21. ’’Dari empat kelas IP ini berarti perairan tercemar ringan sampai tercemar berat,’’ jelas Ridha Hakim.

Ini linier dengan IP yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.115 tahun 2003. Di mana kisaran IP untuk Sungai Jangkok menunjukkan karakteristik tercemar sedang hingga berat.

Sementara, identifikasi beberapa sumber pencemar diantaranya, limbah domestik yang dibuang penduduk di sekitar sungai, ruas antara jembatan Jalan dr. Sutomo sampai Jalan Ragi Ampenan. Dari aktivitas penduduk yang begitu padat ditemukan adanya tinja dan urin yang dibuang ke sungai. Hal ini diketahui dari mikroba yang terdeteksi berasal dari tinja berupa Enterobacter dan E.Coli. Nilai fecal Coliform (Coli tinja) yang didapatkan sangat tinggi. Nilai TSS (Total Suspended Solid) yang diperoleh adalah 2147 mg/l.

Dari hulu ke hilir nilai FBI (Family Biotic Index) Sungai Jangkok semakin kecil. Hal tersebut menunjukkan semakin buruknya kondisi perairan sungai. Dari data tersebut sungai dalam kondisi baik (terpolusi bahan organik) sampai kondisi buruk (terpolusi berat bahan organik).

Hal ini dapat dimaklumi karena aktivitas penduduk ke hilir semakin kompleks dan tata guna lahan yang ada didominasi oleh kawasan pemukiman. Dengan demikian sungai telah tercampur dengan limbah domestik di sekitarnya seperti rumah tangga, ternak,pasar sampai industri kecap.

Hasil metode BBI yang diperoleh tidak berbeda dengan metode FBI, hal ini menunjukkan bahwa dari hulu hingga hilir perairan sudah terpolusi sedang sampai terpolusi berat. Begitu juga dengan hasil perhitungan BMWP menunjukkan perairan sudah mengalami kotor sedang sampai kotor berat.

‘’Dari nilai skor BMWP dan perhitungan nilai ASPT, didapatkan nilai 4 – 6 yang berarti kondisi perairan Sungai Jangkok terklasifikasi perairan yang kotor berat sampai kotor sedang. Hal ini menunjukkan bahwa di semua badan air Sungai Jangkok terlalu banyak mengandung bahan organik,” tandasnya.

Pada bagian hulu sampai tengah nilai ASPT-nya agak tinggi dibanding hilir terutama di Ampenan, tetapi masih tergolong dalam perairan kotor sedang.

Pada bagian hilir, lanjutnya, status perairannya adalah kotor berat yang ditunjukkan dengan nilai ASPT yang rendah. Status perairan kotor berat ini disebabkan minimnya organisme yang didapat, organisme itu adalah famili Tubificidae dan Thiaridae yang merupakan spesies indikator perairan tercemar berat.

Terakhir dijelaskannya, hal ini juga disebabkan karena bagian hilir Sungai Jangkok merupakan pemukiman padat penduduk yang memanfaatkan perairan sebagai tempat sampah dan juga digunakan sebagai MCK (Mandi Cuci Kakus). (ars)