Jangan Jatuh Miskin Karena Rokok

0
Ilustrasi rokok (Sumber foto: pxhere)

Selong (Suara NTB) – Sebuah lembaga penelitian menyebutkan ternyata konsumsi rokok 19,2 persen di Indonesia itu dari kategori orang-orang miskin. Fakta lainnya, membeli rokok ini juga ternyata menjadi kebutuhan keempat masyarakat setelah makanan, pendidikan dan perumahan. Tidak heran, melihat hasil penelitian tersebut naiknya harga rokok bisa berkorelasi dengan angka kemiskinan. Meski demikian, warga diminta jangan sampai jatuh miskin karena rokok.

Hal ini dikatakan Kepala Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Kabupaten Lotim, Muhammad Azlan. Menurut dia, ketika konsumsi rokok meningkat, konsumsi bahan makanan justru menjadi rendah. Inilah yang tampak terjadi korelasi negatif. Fakta ini yang dibenarkan menjadi potensi pemicu kemiskinan.

Kepada Suara NTB via ponselnya, Senin, 13 Januari 2020 kemarin, Azlan mengatakan, rokok memang menjadi item keempat dari sisi pengeluaran masyarakat. Hal ini karena dilihat merokok menjadi kebiasaan warga. Namun kebiasaan tersebut diharapkan tidak berujung pada terganggunya kesehatan masyarakat yang juga justru bisa menyebabkan kemiskinan. Lotim diketahui angka kemiskinannya tertinggi di NTB. Data BPS 16,15 persen atau 193 ribu lebih. Angka ini diharapkan tidak  bertambah dengan makin mahalnya harga rokok.

Dalam upaya mengendalikan rokok sambung Azlan, tidak cukup dengan meningkatkan nilai cukai rokok. Pasalnya, para perkokok pasti akan memiliki alternatif lain. Masyarakat perkok yang tidak mampu membeli kretek misalnya akan mencoba beralih memilih rokok tradisional.

Teori ekonomi, bisa gunakan bahan alternatif. Alternatif ini adalah membuat rokok trandisional. Untuk itu, aspek kesehatan ini harusnya bisa dijadikan pertimbangan utama. Selian menaikkan cukai rokok, maka harus pula digencarkan sosialisasi bahaya rokok bagi kesehatan.

Lotim sebagai daerah penghasil tembakau virginia terbaik ini memang mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). DHB CHT tersebut banyak digunakan untuk pembangunan Lotim. Akan tetapi di sisi lain, harus menjadi perhatian rokok ini juga menggangu derajat kesehatan.

Sebagai penghasil tembakau, sambungnya, perlu dianalisa dan dihitung lebih jauh dari segala faktor seberapa besar kita peroleh manfaat dari sektor tembakau bandingkan dengan sektor kesehatan sebagai akibat. “Ini perlu penelitian lebih lanjut,” imbuhnya.

Apakah sebutan sebagai daerah penghasil tembakau ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan jumlah gangguan penyakit yang muncul dan besaran biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi derajat kesehatan masyarakat. “Berlaku hukum perbandingkan biaya dengan manfaat,” paparnya. (rus)