Mataram (Suara NTB) – Petani mete sedang memasuki masa-masa sulit. Akibat terjadinya perang dagang AS-Tiongkok, dan kebijakan dalam negeri. petani mente mulai rontok. Ketegangan antara AS-Tiongkok berdampak luas. Para petani mete di NTB juga menjadi korban. Perang dagang ini menjadi pil pahit bagi petani mete, ditambah kebijakan-kebijakan yang keluarkan oleh pemerintah Indonesia.
Wahidin, pengusaha utama biji mete untuk ekspor. Ia mengeluhkan beratnya keadaan para petani mete di NTB akhir-akhir ini. L. Wahidin adalah pemilik UD. Pengabdian. Perusahaan penyuplai jagung dan mete dan komoditas pertanian perkebunan lainnya untuk pengiriman ke sejumlah negara. Khusus untuk mete, ekspor biasanya ke Vietnam, India, Afrika, Cina, Singapura, Mesir, bahkan ke Eropa. Ekspor dilakukukan dari Surabaya oleh perusahaan mitranya.
Wahidin dalam sebulan mampu menyuplai hingga 3.000 ton biji mete. Ada 50 pengepul di bawahnya. Dan seribuan petani mete yang tersebar di NTB. L. Wahidin menyebut ketegangan antara AS-Tiongkok mengakibatkan tergerusnya harga pembelian biji mete dari negara-negara tujuan ekspor. “Negara-negara ini ngirimnya juga ke Amerika. Perang dagang Amerika dan Tiongkok ini mengakibatkan pembelian berkurang. Sebelum-sebelumnya, harga mete bisa sampai Rp32.000 perkilo. Sekarang, Rp15.000 perkilo,” katanya.
Kepada Suara NTB di Mataram, Senin, 20 Januari 2020, L. Wahidin mengatakan, keadaan diperparah dengan kebijakan dalam negeri yang cenderung sangat protektif terhadap para pembeli dari luar negeri. “Sebelumnya, orang dari luar negeri datang berbelanja bisa menggunakan visa pelancong. Sekarang harus jelas kepentingan mereka datang. Akibatnya tidak ada lagi para pembeli datang dari luar negeri,” ujarnya.
Sebab minimnya pembeli dari luar negeri ini, harga mete merosot. Kebijakan pemerintah dianggap sangat ketat. Jikapun ada pembeli dari luar negeri masuk, sangat terbatas pembeliannya. Sebab khawatir mereka barangnya akan tertahan.
“Kalaupun ada datang nyari barang, beraninya hanya maksimal satu kontainer. Setelah itu, hilang,” imbuhnya.
Pemerintah menginginkan pembelian dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri. Namun sayangnya, jumlah perusahaan dalam negeri sangat minim. Kebutuhannya tak sebanding dengan produksi dalam negeri. Akibatnya, hasil produksi biji mete dalam negeri kekurangan pasar. Jikapun ingin dijual murah, kepada siapa? Kata L. Wahidin. Dampak dari tantangan yang dikemukakannya, petani mete menjadi hilang semangat. Bahkan tak sedikit diantaranya yang telah rontok, atau gulung tikar.
“Sudah banyak sertifikat yang mereka gadaikan. Di saya juga sudah banyak yang diserahkan sertifikat. Tidak ada untuk mengembalikan utang,” kata L. Wahidin. Semakin ciutnya semangat para petani mete ini, bukan tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak diantaranya yang akan beralih ke usaha lain. Dalam situasi ini, pemerintah daerah diharapkan turut memberikan bantuan dengan mendatangkan para pembeli mete dari luar negeri agar lebih banyak pilihan pembeli sehingga harga akan lebih layak diterima petani.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi petani mete adalah penggundulan hutan yang semakin massif. Mengakibatkan kelembaban tanah menjadi kritis. Ditambah lagi massifnya penggunaan pupuk kimia dan berdampak pada kualitas produksi mete. “Pelik, persoalan petani mente. Kalau pemerintah diamkan, bayangkan seberapa banyak pengangguran yang akan menjadi dampaknya,” demikian L. Wahidin. (bul)