DPMPTSP Usulkan Cabut Izin Investasi Senilai Rp2,479 Triliun

0
Irnadi Kusuma (Suara NTB/dok)

Mataram (Suara NTB) – Sekitar 21.467,675 hektare lahan investasi terindikasi ditelantarkan investor di NTB. Di sisi yang lain, Pemprov NTB melalui Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) mengusulkan pencabutan izin investasi senilai Rp2,479 triliun dari puluhan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah diberikan izin di NTB.

Kepala Biro Pemerintahan Setda NTB, H. Irnadi Kusuma, S.STP, ME menjelaskan, Pemprov telah membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Salah satu tugasnya adalah menyelesaikan masalah lahan investasi yang ditelantarkan investor di NTB. Sehingga apa yang sudah menjadi perjanjian pengelolan lahan baik berupa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan bentuk lainnya  dimanfaatkan dengan baik demi kemaslahatan masyarakat.

‘’Sehingga masyarakat merasakan dampak pemanfaatan lahan itu. Dan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi NTB,’’ kata Irnadi dikonfirmasi Suara NTB, Selasa, 13 Agustus 2019.

Berdasarkan data Biro Pemerintahan Setda NTB sebelumnya, seluas 21.467,675 hektare lahan terindikasi ditelantarkan investor di NTB. Pemprov NTB bersama BPN menjalin komunikasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ BPN Pusat mengenai penetapan lahan terindikasi telantar tersebut.

Usulan penetapan tanah telantar yang telah diusulkan Kanwil BPN NTB ke Kementerian ATR, yakni tanah telantar pemegang HGB seluas 1.607,337 hektar. Kemudian tanah telantar pemegang HGU seluas 16.602,746 hektar, tanah telantar pemegang hak pakai seluas 155,131 hektar dan tanah telantar pemegang izin lokasi seluas 3.102,421 hektar.

Tahun 2014, seluas 36,468 hektar lahan ditelantarkan oleh empat perusahaan di Lombok Barat dan 10,9834  hektar oleh satu perusahaan di Lombok Tengah. Tahun 2015, seluas 9,1720 hektar lahan terindikasi ditelantarkan dua perusahaan di Sumbawa Barat. Tahun 2016, terdapat 10 objek penertiban lahan terindikasi telantar.

Mantan Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTB ini menjelaskan, Kementerian ATR yang menetapkan suatu lahan disebut telantar atau tidak. Pemda hanya memberikan support data kepada Kanwil BPN NTB. Sementara yang melakukan verifikasi dan menentukan lahan itu telantar adalah BPN Pusat atau Kementerian ATR.

‘’Sampai sekarang data itu. Kalau ada update data akan disampaikan. Tapi sampai sekarang itu belum berubah data (lahan terindikasi telantar) itu,’’ tandasnya.

Irnadi menambahkan, pihaknya meminta Pemda kabupaten/kota juga melakukan pengawalan mengenai keberadaan lahan yang terindikasi ditelantarkan investor di kabupaten/kota. Perkembangan datanya perlu terus diupdate supaya Pemprov bisa mengambil langkah.

Ditanya mengenai adanya dugaan pemegang izin mengagunkan sertifikat lahan ke perbankan. Irnadi mengatakan bahwa memang ada informasi yang terkait hal itu. ‘’Tetapi itu bagian dari evaluasi pemerintah daerah, terkait perusahaan atau investor yang melakukan itu,’’ tandasnya.

Sebelumnya, DPMPTSP NTB telah  mengusulkan ke  Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI untuk mencabut izin puluhan investasi dalam dan luar negeri yang ada di NTB.  Nilai investasi yang direncanakan mencapai Rp2,479 triliun lebih.

Rekomendasi pencabutan izin, didasarkan atas ketidakpastian realisasi investasi di NTB yang telah diajukan oleh pemodal-pemodal umumnya luar negeri ke pemerintah pusat.  Sebelumnya, BKPM RI meminta NTB menelusuri 139 perusahaan yang mengajukan izin investasi dalam kurun waktu  2017 – 2018.

Penelusuran yang dilakukan oleh tim dari Bidang Pengendalian dan Pelaksanaan Penanaman Modal DPMPTSP  NTB, pada 22 April 2019. Dari  48 perusahaan yang didatangi lokasi izin investasinya, diketahui 28 perusahaan yang tidak tertib Laporan Kegiatan Penanaman Modal  (LKPM). Dengan nilai investasi yang berpotensi gagal dari yang direncanakan mencapai Rp2.057.521.700.000 (1 dolar Amerika=Rp13.500).

Kemudian pada 18 Juni 2019, dari 25 perusahaan yang didatangi, 14 perusahaan berpotensi batal investasinya mencapai Rp421.640.380.000 (1 dolar Amerika=Rp13.500). Tim DPMPTSP terus menelusuri perusahaan-perusahaan lain yang masuk dari 139 perusahaan yang diminta dicek oleh BKPM RI.

Kepala Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal DPMPTSP NTB, Baiq Yunita Puji Widiani, ST.M.Si mengatakan, ada perusahaan yang menjual lahannya. Ada juga yang tidak jadi berinvestasi dan ada juga yang hanya konstruksi tetapi tidak melaporkam LKPM.

‘’Ada juga yang lahannya kosong. Ada juga yang tidak kita temukan jejaknya. Kita tanya-tanya sampai ke pemerintah desa dan kelurahannya,’’ kata Yunita, belum lama ini.

Berdasarkan data DPMPTSP NTB, sejumlah perusahaan asing yang rapor merah, diantaranya. PT. Sky Investment Group (Hongkong, Cina) di Kabupaten Lombok Utara (KLU), PT. Origin Resort Lombok (Hongkong, Cina, Perancis) di Lombok Tengah (Loteng), PT. Unistra Internasional Create (Jepang) di Kota Mataram. PT. Evershine Pemenang Abadi (Taiwan) di Kota Mataram, PT. New House (Australia) di Lombok Barat (Lobar).

Woory Investment and Development Property (Korsel,Indonesia) di Loteng. PT. Marcel Real Estate Pulau Indonesia (Italia) di KLU. PT. Gili Wisata Indah (Belanda) di KLU. PT. Simahi Beach Resort (Inggris, Indonesia) di Lobar. PT. Masoan Peter Turral (Australia, Indonesia) di Lobar. PT. Primacitilink (Slovakia) di Lobar.

Virgin Indonesia (Belgia) di Lotim, PT. Baik House City (Prancis) di KLU, PT. Raj Investment Indonesia (Australia) di KLU. PT. Lombok Investma Indonesia (Polandia,Indonesia) di Lobar, PT. AG Emi Development (Prancis, Inggris) di Loteng. PT. Tera Selong Real Estate (Jerman) di Loteng. PT. Resort Beach Development (Singapura) di Lotim.

Galery Property Development (Singapura,Kanada) di Lotim. PT. Antara Dusun Air (Singapura) di KLU. PT. Geomek Korea Lombok (Korea Selatan) di Lombok Timur. PT. VLI (Indonesia) di Kota Mataram. PT. Secret Hide Away (Perancis) di Loteng. PT. DHT Bumi Budhi Sejahtera (Korsel) di Lotim. PT. Bellevue (Bulgaria) di Lotim. PT. Shamadhra Estate Indonesia (Hongkong, Cina) di Loteng. PT. Brow Bros Lombok (Irlandia, Spanyol) di Loteng.

Selanjutnya PT. Raja Guangxi International Organization (China, Singapura) di Kabupaten Bima. PT. Terra Tour Sumbawa  (Siprus, Bulgaria) di Kabupaten Bima. PT. Lombok Internasional Resources (Singapura) di Dompu.  PT. Lakey Mimpi International (Jepang) di Dompu. PT. Clemenceau Sinar Nirmala (Australia, Perancis) di KSB. PT. Shinning Blue Sea (Swiss, Indonesia) di Sumbawa.

Sumbawa Pelita Energi (Cina, Indonesia) di Sumbawa. PT. Jeeva Resort Hotels (AS, Indonesia) di Lobar. PT. Puri Mas Lombok (Belanda,Indonesia) di Lobar. PT. Boka Internation Invest (Tunisia) di KLU. PT. Yamma Pool Investment (Australia) di KLU. PT. Lombok Australia Joint Enterprises (Australia) di KLU. PT. Pacula Lombok International (Australia) di Lobar.

Kemudian PT. Lombok Pulau Surga (Australia, Indonesia) di Lobar. PT. Maju Tumbuh Bersama (Australia, Indonesia) di Lobar dan PT. Blackwell Estates (Inggris) di Loteng.

‘’Ada juga yang sudah konstruksi, sudah ada lahan, tapi tidak tertib LKPM. Karena dari tertib LKPM ini kita bisa memantau realisasi investasinya,’’ tandas Yunita. (nas/bul)