Pembentukan PT. Bank BPR NTB Jangan Tersandera Persoalan Politik

0

Mataram (Suara NTB) – Pembentukan PT. Bank BPR NTB masih menuai polemik. Dua Pemda Kabupaten, Sumbawa dan Sumbawa Barat bersikukuh menolak digabung dengan enam PD. BPR lainnya. Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengembalikan berkas syarat-syarat yang harus dipenuhi agar PT. Bank BPR NTB disahkan.

Sudah menjadi rahasia umum, belum adanya kata sepakat dari semua Pemda, pada dasarnya bukan karena persoalan teknis semata. Melainkan belum adanya kesepahaman politik antara pimpinan partai di provinsi ini.

Persoalan inilah yang diharapkan Dr. L. Wira Pria Suhartana, SH., MH dari Fakultas Hukum Unram tidak menjadi sumbu utama pembentukan PT. Bank BPR NTB. Karena pembentukannya harus berdasarkan. Kendati demikian, Dr. Wira tak memperdalamnya.

Ia menyarankan alternatif lain, agar pembentukan PT. Bank BPR NTB ini memangkas dua kabupaten yang bersikukuh menolak digabungkan itu.

“Bisa saja ditinggalkan yang dua itu (Sumbawa dan KSB), biar jalan,” dorongannya.

Kepada Suara NTB di Mataram, Rabu, 5 Juli 2017 kemarin, Dr. Wira memberikan penekakan dari aspek legalitas hukum. Dari awal pembentukan PT. Bank BPR NTB ini menurutnya bermasalah.

Di dalam Perda, disebutkan bahwa dilakukan penggabungan delapan Perusahaan Daerah (PD). BPR. Padahal, yang paling tepat menurutnya dilebur. Jika digabungkan, sementara masing-masing BPR masih berbadan hukum sebagai PD dan tercatat masih eksis secara hukum, menurutnya tidak cocok.

Jika dalam Perda dibahasakan sebagai “peleburan”, bukan “penggabungan”, menurutnya ini yang paling pas dari aspek hukum. Sebab antara peleburan dan penggabungan memiliki makna yang jauh berbeda. Karena itu, menurutnya Perda inipun tidak cocok.

“Pertama, di dalam pembentukan Perdanya sudah salah. Tentu Perda yang digunakan menyalahi aturan,” ujarnya.

Selanjutnya, pembentukan perusahaan daerah harus mengacu pada Undang-Undang No 23 tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah. Didalamnya mengatur bahwa perusahaan daerah harus menggunakan badan hukum Persero atau Perum Daerah, bukan sebagai PT.

Ketentuan ini berlaku tiga tahun setelah UU 23 diberlakukan. Karenanya, Wira juga menyarankan harus dilakukan perubahan bentuk badan hukum.

“Ini juga tidak strategis yang dilakukan oleh Pemda,” ujarnya.

Ia mengingatkan, agar pembentukan lembaga keuangan ini benar-benar mempertimbangkan aspek kebermanfaatannya untuk kepentingan masyarakat. Karena itulah, seluruh prosedur pembentukannya harus dilakukan secara profesional, dan tidak terpasung oleh kepentingan apapun di dalamnya.

Harapannya, perusahaan daerah ini terbentuk benar-benar diikhtirakan untuk kepentingan kemaslahatan banyak orang di provinsi ini. Bukan semata-mata kepada persoalan bisnis. Berkaca dari beberapa BUMD yang ada di daerah, katanya, BUMN mana yang memberikan manfaat besar bagi kepentingan masyarakat?

“Ada DMB (Daerah Multi Bersaing), Jamkrida (Penjaminan Kredit Daerah), GNE (gerbang NTB Emas), sejauh mana dia memberikan pengaruh kepada masyarakat dan dalam pentingkatan PAD. Sehingga perlu dievaluasi. Jangan sampai seperti itu,” demikian Wira. (bul)