Bela UMKM, dari Hulu hingga Hilir

0

Mataram (Suara NTB) – Kebijakan bela dan beli produk lokal yang sedang dirancang Pemprov NTB bertujuan menekan angka pengangguran dan mempercepat penurunan angka kemiskinan. Dengan menyerap produk IKM dan UMKM lokal, maka semakin banyak masyarakat yang mendapatkan pekerjaan.

‘’Uang kita tidak lari keluar daerah. Dengan membeli produk IKM dan UMKM lokal, uang akan berputar di dalam daerah. Sehingga kalau bela dan beli produk lokal diterapkan,  dampaknya terhadap penurunan kemiskinan akan lebih cepat,’’ ujar Asisten II Perekonomian dan Pembangunan Setda NTB, Ir. H. Ridwan Syah, MM, M.TP dikonfirmasi Suara NTB, Jumat, 10 Juli 2020.

Permasalahan utama yang dihadapi di NTB sama seperti daerah lain, yaitu persoalan pengangguran dan kemiskinan. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di NTB pada Februari 2020 berdasarkan data BPS sebesar 3,14 persen atau 78.220 orang. TPT tertinggi merupakan lulusan SMK sebesar 6,97 persen, diploma I, II dan III sebesar 6,27 persen, SMA 5,12 persen, universitas 4,06 persen, SD 1,63 persen dan SMP 1,14 persen.

Sedangka angka kemiskinan di NTB berdasarkan rilis BPS yang terakhir pada September 2019 sebesar 13,88 persen atau 705.680 jiwa. Meskipun terjadi penurunan sebesar 0,68 persen dibandingkan Maret 2019 yang sebesar 14,56 persen.

Namun, persentase penduduk miskin di NTB cukup tinggi, masih berada di atas rata-rata nasional yang sebesar 9,22 persen. Pemprov NTB menargetkan angka kemiskinan dapat turun menjadi satu digit, yaitu 9,75 persen pada akhir 2023.

Berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)  Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah rumah tangga kategori sangat miskin, miskin, hampir miskin dan rentan miskin di NTB sebanyak 685.672 KK atau 2,3 juta jiwa lebih. Sebanyak 685.672 KK atau 2,3 juta jiwa lebih tersebut masuk di desil I, desil 2, desil 3 dan desil 4.

Masyarakat NTB yang masuk desil I atau kategori sangat miskin sebanyak 272.281 KK. Dengan rincian, Lombok Barat 36.165 KK, Lombok Tengah 70.495 KK, Lombok Timur 83.784 KK, Kabupaten Sumbawa 7.713 KK, Dompu 5.516 KK, Bima 17.483 KK, Sumbawa Barat 6.201 KK, Lombok Utara 22.652 KK, Kota Mataram 17.686 KK dan Kota Bima 4.586 KK.

Masyarakat NTB yang masuk desil 2 atau kategori miskin sebanyak 171.069  KK. Dengan rincian, Lombok Barat 25.177 KK, Lombok Tengah 43.049 KK, Lombok Timur 45.065  KK, Sumbawa 10.008 KK, Dompu 9.603  KK, Bima 17.750  KK, Sumbawa Barat 2.559  KK, Lombok Utara 8.124  KK, Kota Mataram 6.835 KK dan Kota Bima 2.899 KK.

Masyarakat NTB yang masuk desil 3  atau kategori hampir miskin  sebanyak 139.009 KK. Dengan rincian, Lombok Barat 18.428  KK, Lombok Tengah 27.033 KK, Lombok Timur 34.496  KK, Sumbawa 14.033 KK, Dompu 10.103 KK, Bima 17.624  KK, Sumbawa Barat 2.888 KK, Lombok Utara 3.938 KK, Kota Mataram 5.972 KK dan Kota Bima 4.494 KK.

Kemudian masyarakat NTB yang masuk desil 4 atau kategori rentan miskin sebanyak 103.313 KK. Dengan rincian, Lombok Barat 16.235  KK, Lombok Tengah 22.878 KK, Lombok Timur 25.295 KK, Kabupaten Sumbawa 10.675  KK, Dompu 5.522 KK, Bima 9.052 KK, Sumbawa Barat 2.953  KK, Lombok Utara 1.813 KK, Kota Mataram 5.244 KK dan Kota Bima 3.646 KK.

Dampaknya Dahsyat

Ridwan mengatakan, kebijakan bela dan beli produk lokal sudah diterapkan di beberapa daerah seperti Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak 2013. Ia mengatakan, dampak kebijakan bela dan beli produk lokal di sana cukup dahsyat.

Kabupaten Kulon Progo sebelumnya menjadi daerah dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Mereka mampu menurunkan angka kemiskinan dengan cukup progresif.

Pada 2013, Kulon Progo membuat kebijakan bela dan beli produk lokal sebagai alat untuk mendorong agar masyarakat mau membela daerahnya sendiri dengan cara membeli produk yang diproduksi oleh masyarakat Kulon Progo.

Berdasarkan hasil kajian, dampak dari kebijakan bela dan beli produk lokal berdampak positif. Hal tersebut terlihat dari nilai PDRB Kulon Progo pada tahun 2014 yang mengalami peningkatan sebesar Rp0,61 triliun dibandingkan dengan nilai PDRB tahun sebelumnya.

Dan juga pada sektor industri mengalami laju pertumbuhan yang positif sebesar 7,37 persen pada tahun 2013 dan 2014. Laju pertumbuhan sektor ini didukung oleh peningkatan volume produksi maupun volume usaha. Pada tahun 2014, sektor ini menyumbang 12 persen terhadap total produk domestik regional bruto (PDRB) di Kabupaten Kulon Progo dengan nilai Rp870,12 miliar.

Pemprov akan mempercepat penyusunan Pergub ini. Ditargetkan pada akhir Juli, Pergub tentang Pemberdayaan UMKM atau Aksi Bela dan Beli Produk Lokal di NTB akan sudah rampung dan segera diimplementasikan.

“Ini sedang dalam pembahasan. Pak Gubernur juga sedang meneliti lebih dalam. Intinya, ketika kita ingin membela dan membeli produk lokal, kita harus pastikan pasarnya,” kata Ridwan.

Mantan Kepala Bappeda NTB ini mengatakan, kebijakan bela dan beli produk lokal memang harus dimulai dengan adanya regulasi, yaitu Pergub. Semangat membeli produk lokal sebenarnya sudah mulai dilakukan Pemprov NTB. Dengan memesan sebanyak 2.130 mesin dan alat pengolahan yang dibuat oleh IKM-IKM Permesinan NTB lewat program stimulus ekonomi.

Dalam Pergub yang sedang disusun, juga memastikan kualitas dari produk IKM dan UMKM lokal. Produk IKM dan UMKM lokal NTB punya spesifikasi atau standar. Sehingga ketika orang luar ingin membeli, mereka tak ada keraguan.

Dengan kebijakan bela dan beli, pasar produk lokal di NTB sangat luas. Misalnya, mewajibkan PNS lingkup Pemprov NTB membeli produk-produk pangan yang menjadi kebutuhan pokok seperti beras. Kemudian mewajibkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menggunakan produk lokal untuk konsumsi ketika rapat dan lainnya.

Kemudian Pokir anggota DPRD berupa bantuan peralatan dan mesin kepada masyarakat atau kelompok masyarakat menyerap produk IKM permesinan di NTB. Begitu juga perhotelan, diwajibkan menggunakan produk lokal seperti sabun antiseptik, kopi dan lainnya.

‘’Itu nanti yang diatur dari segi membelanya. Tapi kita juga mengatur sisi kelembagaan, hulu hingga hilirnya juga,’’ katanya.

Dalam pengadaan barang dan jasa di Unit Layanan Pengadaan (ULP) NTB, juga akan diwajibkan bagi calon rekanan menggunakan produk lokal. Penggunaan produk lokal akan menjadi salah satu persyaratan dalam penilaian calon rekanan yang mengikuti lelang.

‘’Misalnya pengadaan makanan tambahan untuk ibu dan bayi. Kita wajibkan dia harus memakai produk lokal. Sepanjang produk lokalnya ada,’’ terangnya.

Untuk itu, kata Ridwan, produksi produk lokal harus dapat dipastikan berkesinambungan. Jangan sampai ketika kebutuhannya banyak, produksinya tidak ada atau kurang.

‘’Jadi ini bukan pekerjaan yang mudah. Tetapi kita harus memastikan jangan sampai kita terlalu semangat berbicara produk lokal. Tapi produksinya ndak ada. Terus tenaga kerjanya nggak ada. Itu yang ingin kita atur di dalam Pergub itu,’’ tambahnya.

Dari Kelembagaan Hingga Modal

Kepala Bappeda NTB, Dr. Ir. H. Amry Rakhman, M. Si menambahkan, selain memberdayakan IKM dan UMKM lokal, Rapergub tersebut dihajatkan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan di NTB.

‘’Ujungnya memang untuk peningkatan kesejahteraan atau menanggulangi kemiskinan. Karena semua yang kita lakukan di pemberdayaan IKM dan UMKM itu, muaranya ke sana, upaya mempercepat pengentasan kemiskinan,’’ kata Amry.

Amry menjelaskan ada lima ruang lingkup yang akan diatur dalam Rapergub tersebut. Pertama, penguatan kapasitas kelembagaan. Kedua, penguatan kapasitas pelaku UMKM melalui pelatihan kewirausahaan, pembinaan teknis dan manajemen berproduksi.

Ketiga, fasilitasi penyediaan faktor-faktor produksi berupa teknologi cara berproduksi, bahan, peralatan, dan mesin. Serta penguatan permodalan UMKM dalam proses berproduksi. Keempat, fasilitasi keamanan, kelancaran dan kepastian pemasaran hasil produksi UMKM. Dan kelima, penumbungkembangan kemitraan usaha antara pelaku UMKM dengan pelaku usaha menengah dan pelaku usaha besar.

Ada 12 usaha unggulan UMKM yang prioritas untuk diberdayakan. Pertama, pertanian tanaman pangan seperti padi/gabah/beras, jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Kedua, hortikultura seperti sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan.

Ketiga, perkebunan seperti kelapa, mente, kopi, gula aren. Keempat, peternakan seperti sapi, kerbau, kuda, kambing, ayam, bebek, itik. Termasuk daging, susu dan telur. Kelima, perikanan dan kelautan seperti aneka jenis ikan laut, aneka jenis ikan air tawar, rumput laut, kerang mutiara dan terumbu karang.

Keenam, kehutanan seperti kayu, rotan, bambu, ketak, lebah madu, kayu putih dan hasil hutan bukan kayu. Ketujuh, industri pertanian yaitu semua industri pengolahan dengan bahan baku berasal dari produk pertanian dalam arti luas.

Kedelapan, industri makanan seperti jajanan dan minuman siap saji seperti produk restoran, produk rumah makan dan warung. Kemudian industri air minum isi ulang dan dalam kemasan. Kesembilan, industri sandang seperti konveksi, kain tenun lokal, masker dan lainnya.

Kesepuluh, industri rumah tangga seperti aneka jenis suvenir untuk wisatawan. Kesebelas, usaha dagang kebutuhan pokok masyarakat seperti aneka jenis sembako. Keduabelas, industri kimia dan farmasi, jamu-jamuan. (nas)