Bantuan untuk Pedagang Miras di Mataram akan Dievaluasi

0

Mataram (Suara NTB) – Peredaran minuman keras (miras) tradisional semakin marak di Kota Mataram menunjukkan lemahnya pengawasan serta tak efektifnya bantuan atau kompensasi diberikan Pemkot Mataram kepada pedagang miras. Pedagang bukannya mengalihkan profesinya dengan bantuan modal yang diberikan, justru dinilai mengembangkan usaha mereka dari bantuan yang diberikan pemerintah.

Wakil Walikota Mataram, H. Mohan Roliskana dikonfirmasi, Rabu, 6 September 2017, meminta dilakukan peninjauan kembali terhadap kompensasi diberikan pemerintah sebelumnya. Jangan sampai bantuan modal dihajatkan agar masyarakat mengalihkan profesinya justru mengembangkan usahanya.

“Saya pikir ini perlu ditinjau lagi kalau memang informasinya seperti itu,” kata Mohan.

Meskipun demikian, ia berpikir positif saja dan tidak mau beranggapan bahwa bantuan itu disalahgunakan. Mohan juga belum menerima hasil investigasi Satpol PP yang menemukan indikasi seperti itu. Ini nantinya akan dijadikan evaluasi kedepan untuk memberikan bantuan kembali.

“Tentu kita akan evaluasi ini,” ujarnya.

Di satu sisi, Wawali mengaku lemahnya supervisi atau pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi memang pengawasan peredaran miras tradisional harus secara terintegrasi yang melibatkan lintas sektor seperti Kepolisian, TNI, camat, lurah, dan tokoh masyarakat setempat. Pihak – pihak ini harus bersinergi menegakan aturan itu, sehingga penanganan lebih maksimal.

“Kami akui memang kita masih lemah melakukan pengawasan,” ujarnya.

Jika langkah persuasif dan imbauan tidak efektif menekan peredaran miras di Kota Mataram, Mohan kembali memberikan peringatan ke pedagang. Pihaknya akan memberikan sanksi lebih tegas lagi dengan penegakan aturan.

Di samping itu memang kata dia, camat dan lurah harus proaktif turun memantau ke lapangan. Titik – titik mana menjadi lokasi peredaran miras tradisional dikoordinasi dengan aparat terkait untuk dilakukan penertiban.

Di tahun 2016, Pemkot Mataram memberikan kompensasi ke pedagang miras secara bervariasi. Nilainya Rp 5 juta – Rp 10 juta tergantung besar kecilnya usaha mereka.

Kompensasi itu dimaksudkan agar pedagang mengalihkan profesi mereka. Nyatanya, pedagang miras tetap marak terjadi. Bahkan, investigasi aparat penegak Perda menemukan indikasi pedagang menggunakan kompensasi untuk mengembangkan usaha mereka.

Kambuhnya penyakit sosial itu dipicu lemahnya penindakan oleh pemerintah. Meskipun lima pedagang diseret ke pengadilan dan dikenakan sanksi tindak pidana ringan (tipiring) dengan denda Rp 500 ribu. Tetapi tidak mengendurkan niat masyarakat menjual miras kembali. (cem)