Awasi 370 Tenaga Kerja Asing, Disnaker Lombok Utara Kekurangan SDM

0

Tanjung (Suara NTB) – Keberadaan 3 gili di Kabupaten Lombok Utara (KLU) sebagai destinasi wisata dunia berdampak langsung terhadap pemanfaatan Tenaga Kerja Asing (TKA). Alasannya mereka dipandang lebih berkompeten, lebih profesional dan lebih memahami pasar wisatawan dari seluruh dunia. Namun tidak sedikit kekhawatiran, TKA yang bekerja di Lombok Utara dikhawatirkan tidak melalui proses resmi.

Kepala Dinas Tenaga Kerja, Penanaman Modal dan Pelayanan Terpasu Satu Pintu Asing (Disnaker PM PTSP) Kabupaten Lombok Utara (KLU), Vidi Ekakusuma, MM., Selasa, 24 April 2018, mengungkapkan, potensi PAD dari Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) bertambah setiap tahunnya. Data sementara yang diperoleh mencatat jumlah TKA di KLU saat ini sebanyak 370 orang. Hanya saja, tidak setiap TKA dapat ditarik retribusinya, karena di antara pekerja ada yang bekerja di kabupaten lain pada satu perusahaan yang sama, sehingga retribusinya masuk ke provinsi.

“Saat ini kami sedang memberi keterangan terkait PAD IMTA di depan Pansus DPRD. Jumlah TKA sementara sekitar 370-an orang, dengan PAD 1.200 Dolar per orang per tahun, sehingga untuk tahun PAD kita ditargetkan sebesar Rp 4 miliar,” ungkap Vidi.

Tahun 2017 lalu, PAD IMTA yang berhasil dikumpulkan Disnaker mencapai Rp 2 miliar lebih. Peningkatan target dua kali lipat tahun ini diharapkan dapat tercapai. Meski tidak bersikap pesimis, namun Vidi mengakui masih ada kendala yang dihadapi. Di antaranya jumlah tenaga pengawas TKA di dinas terbatas. Selain itu, pihaknya juga tidak dibekali oleh anggaran pengawasan TKA yang sejatinya berasal dari anggaran IMTA itu sendiri.

Sejauh ini, Disnaker KLU berharap intensitas Tim Penertiban Pengawasan Orang Asing (Tim Pora) yang terdiri dari Imigrasi, Kepolisian dan Pemda KLU dapat menekan jumlah TKA ilegal di daerah. Pihaknya juga mengimbangi optimalisasi penarikan potensi PAD dengan melakukan pendataan ulang di lapangan.

“Tim terpadu akan menelusuri tempat di mana orang asing bekerja dan teliti dokumennya, imigrasi mengecek keabsahan dari izin tinggalnya, kalau kewenangan kabupaten hanya terkait dengan Kitas. Melihat dinamika yang berkembang di 3 gili, ada kemungkinan penambahan TKA tiap tahun,” paparnya.

Vidi mengakui belum memperoleh fakta adanya TKA atau perusahaan yang main “kucing-kucingan” dengan Pemda dalam mempekerjakan TKA. Disnaker tetap mencari tahu keberadaan TKA yang kemungkinan tidak tertib pembayaran IMTA.

“Selama ini kendala kita kekurangan SDM, karena mengawal pungutan IMTA masih bersifat self assessment. Mereka datang ke kabupaten memperpanjang izin. Kalau kita turun sendiri kita kekurangan orang. Dan dana yang diarahkan ke SKPD juga belum ada. Sementara di aturan ada sekian persen harus diarahkan ke pengawasan orang asing,” paparnya.

Pihaknya berharap perusahaan juga lebih tertib dalam melaporkan jumlah TKA yang dipekerjakannya.
Pelancong sebagai TKA? Penyalahgunaan akan dilihat visa. Pasalnya, TKA yang noatbene memanfaatkan Paspor pelancong akan terlihat dengan sendirinya.

Bagi mereka yang menyalahgunakan visa pelancong untuk kerja, maka baik TKA dan perusahaan dapat dikenakan sanksi. Dinasker bisa saja mempertimbangkan izin perusahaan yang tidak koopeartif kepada pemerintah. “Selama ini IMTA sektor industri pariwisata kebanyakan dipekerjakan sebagai tingkat manajer, chef, marketing dan instruktur,” demikian Vidi. (ari)