Anak Rentan Terdampak Hal Negatif Selama PJJ

0
Retno Listyarti (Suara NTB/ist)

Mataram (Suara NTB) – Penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan cara Belajar dari Rumah (BDR) fase kedua di tengah pandemi Covid-19 ini menyisakan berbagai tantangan.Terutama rentannya anak mengalami dampak negatif dengan diterapkannya PJJ.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, kepada Suara NTB, Senin, 27 Juli 2020 mengatakan,  dalam masa pandemi Covid-19 di mana anak-anak terisolasi di rumah dan belajar dari rumah selama berbulan-bulan, memiliki risiko berdampak bagi mental anak-anak.

Risiko itu seperti anak mengalami kejenuhan, penurunan minat belajar, terpapar konten negatif akibat aktivitas penggunaan internet yang sangat tinggi, dan naiknya risiko kesehatan anak akibat aktivitas yang minim. “Kami juga melakukan survei kepada anak-anak di NTB, antara lain di Bima dan Pulau Lombok,” ujarnya.

Ia merincikan, dampak negatif itu antara lain, pertama, anak rentan mengalami kecanduan gawai, internet, serta eksploitasi seksual. Menurutnya, selama PJJ, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar gawai untuk bisa mengerjakan tugas dan mengakses internet.

“Teknologi informasi memang seperti pisau bermata dua, di satu sisi memudahkan komunikasi dan menghilangkan jarak, tapi di satu sisi kehadiran teknologi komunikasi memiliki ruang-ruang gelap, di mana predator seksual, industri hoaks, dan industri pornografi menyasar anak-anak,” ujarnya.

Kedua, anak rentan mengalami gangguan kesehatan. Retno menjelaskan, penggunaan peralatan daring seperti ponsel, laptop maupun komputer PCselama berjam-jam setiap harinya akan memicu kelelahan pada fisik dan mata anak.

“Terlalu lama di depan gawai setiap hari juga memicu obesitas pada anak karena minim bergerak. Untuk itu, para orang tua disarankan mengajak anak berolahraga bersama-sama setiap harinya agar anak terbiasa bergerak, sehingga aliran darahnya lancar dan terhindar dari obesitas,” ujarnya.

Ketiga, anak rentan putus sekolah. Rento menyampaikan, menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2019 saja ada 157.166 anak putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah. PJJ secara daring berpotensi membuat anak-anak miskin yang tidak bisa mengikuti pembelajaran daring terancam putus sekolah.

Ia mengatakan, PJJ menunjukan kesenjangan yang lebar dalam akses digital di kalangan peserta didik. Anak-anak dari kelas ekonomi menengah ke atas terlayani PPJ secara daring karena kelompok ini memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk belajar daring. Namun, anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah tidak terlayani dalam PJJ, karena kelompok ini tidak memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk PJJ daring.

Ke empat, anak rentan mengalami eksploitasi. Ketika anak-anak memilih berhenti sekolah akibat tidak memiliki akses untuk pembelajaran daring, maka banyak anak yang akhirnya diminta orangtuanya bekerja atau menikah, sehingga angka pekerja anak dan perkawinan anak berpotensi meningkat.

Retno menegaskan, perlindungan khusus terhadap anak kian mendesak saat mereka harus ikut mengatasi  masalah ekonomi keluarga dengan bekerja. “Seperti kasus pekerja anak di NTB saat pandemi, di mana anak-anak laki-laki yang tidak bisa mengikuti PJJ daring dikarenakan tidak memiliki alat daring dan tak sanggup membeli kuota internet, akhirnya, mereka diminta bekerja oleh keluarganya untuk membantu mengatasi masalah ekonomi keluarga selama pandemi,” ujarnya.

Kelima, anak rentan mengalami berbagai kekerasan. Retno menjelaskan, survei KPAI yang dilaksanakan pada 8-14 Juni 2020 dengan  sampel responden anak sebanyak 25.164 orang  menunjukkan bahwa terjadi  kekerasan psikis dan fisik selama pandemi terhadap anak dengan pelaku keluarga terdekat, seperti ibu, ayah, kakak/adik, saudara lainnya, kakek/nenek, asisten rumah tangga. Meskipun kekerasannya tidak spesifik terjadi hanya saat mendampingi anak PJJ,

Ia mengatakan, KPAI mendorong Kemdikbud segera menyederhanakan kurikulum di semua jenjang pendidikan, TK sampai SMA/SMK. Pihaknya juga mendorong Pemerintah Pusat melalui Kominfo RI segera membuat kebijakan pengratisan internet selama PJJ pada 6 bulan ke depan. Karena banyak anak dari keluarga menengah ke bawah tak mampu melaksanakan pembelajaran daring akibat tak mampu membayar kuota internet.

Selain itu, Retno mengatakan, pihaknya mendorong sekolah memetakan anak-anak yang bisa melakukan pembelajaran daring dan yang hanya bisa luring atau yang bisa luring dan daring. Sekolah menyiapkan penjadwalkan pembelajaran dan membuat modul pembelajaran untuk anak-anak yang tidak bisa daring.  “Terutama untuk para siswa SMK yang membutuhkan praktik keterampilan di bengkel sekolah, seharusnya dijadwalkan daring dan tatap muka demi menjaga kualitas lulusan sekolah vokasi.

Retno juga menjelaskan, KPAI mendorong adanya kebijakan pemerintah yang fokus pada keluarga miskin. “Akan mencegah krisis akibat pandemi menjadi krisis kemanusiaan yang lebih besar kepada anak. Pemerintah harus memastikan anak-anak mendapatkan akases pendidikan, kesehatan dan perlindungan,” sarannya. (ron)